Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 17 Maret 2021, seorang warga berinisial AM ditangkap Polresta Solo karena disinyalir melakukan penghinaan terhadap Walikota Solo, Gibran Rakabuming. AM ditangkap karena mengomentari salah satu postingan di akun Instagram @garudarevolution.Â
Menurut Direktur IJCR, Eramus, menilai penangkapan warga tersebut bukanlah sebuah restorative justice karena tidak jelas siapa disini yang menjadi korban. Namun, kali ini penulis tidak mencoba untuk menguraikan permasalahan tersebut, tetapi lebih fokus kepada pernyataan Eramus tentang restorative justice.
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Disini restorative justice menghendaki adanya solusi daripada kedua pihak untuk menyelesaikan perkara secara solutif-kekeluargaan.
Penulis kemudian tiba-tiba teringat tentang kondisi jurnalisme saat ini karena mendengar kata restorative justice. Menurut penulis, jurnalisme (media pemberitaan) saat ini sibuk menelisik 5W1H dari sebuah peristiwa tanpa menyertakan common ground dan solusi dari suatu permasalahan. Ini tentu bukan suatu jurnalisme yang sempurna, karena jurnalisme adalah menghendaki adanya sebuah edukasi kepada pembaca bagaimana suatu permasalahan dapat diselesaikan, atau minimal memiliki kemungkinan-kemungkinan untuk diselesaikan.
Yang dapat sering kita temui dalam media masa adalah menyertakan 5W1H dan mengutip pendapat-pendapat yang memiliki kontradiksi (pro-kontra) mengenai suatu permasalahan. Jarang sekali media menyertakan argumen subjektifnya---yang mana argumen subjektif itu sendiri didukung oleh data-data objektif.Â
Hal ini menjadikan media voyeuristik (terpisah hakikatnya) dari pencerdasan bangsa, dan jatuhnya malah seperti hanya menjadi lembaga penyampaian berita "mulut ke mulut"---mungkin sekarang bahasanya layar ke layar. Ini akan menjadikan demokrasi kering. Publik akan terjebak dalam dualisme pandangan yang hanya sekedar bertentangan tanpa seakan-akan tidak ada jalan keluar dari permasalahan tersebut.
Common ground sendiri adalah unsur dalam jurnalisme yang mencari sebuah "jalan tengah" bagi argumen-argumen yang kontras. Tentu "jalan tegah" bagi argumen-argumen itu tujuannya adalah mencari kebijakan yang terbaik bagi publik.Â
Disini jurnalisme akan menyadarkan pihak-pihak yang berkontradiksi bahwa mereka sebetulnya memiliki tujuan moral yang baik, meskipun mungkin ada pelbagai probabilitas yang menyebabkan adanya kontradiksi tersebut. Sedangkan unsur solutif adalah unsur yang memberikan solusi bagi suatu permasalahan. yang ditulis oleh penulis berita tersebut.Â
Dalam memberikan solusi itupun, solusi yang diberikan harus yang bersifat yuridis, bersih dari emosi, dan berdasarkan fakta. Jadi, jurnalis disini tidak semata-mata menyampaikan apa yang sedang terjadi, melainkan memberikan ilmu pengetahuan yang ia punya ke ruang demokrasi agar pembaca tercerdaskan.
Dengan demikian, masyarakat bakal melek akan pemahaman bagaimana kontestasi politik yang selama ini mengatur kehidupannya, yang kemudian dengan analisisnya, ia mampu dan paham dimana ia harus meletakkan standing position politiknya, karena demokrasi yang subur tercipta dari masyarakat yang tidak buta politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H