Judul di atas terkesan retoris jika diucapkan oleh politisi yang secara verbal sulit dipercayai setiap ucapannya. Setidaknya di tengah nuansa politis yang lebih dominan, ketimbang penegakkan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Padahal realita politik menunjukkan, acap kali para politisi melakukan politisasi terhadap isu-isu kebangsaan demi memukul habis lawan politiknya. Itulah agaknya yang bisa kita nikmati saat ini dalam lanskap politik Pilkada DKI Jakarta. Isu-isu kemajemukan, toleransi, pluralisme dan kebangsaan mencuat dan menjadi bahan dagangan para politisi (khususnya para tim sukses kandidat).
Sebenarnya sudah nature-nya politisi menjadikan apapun sebagai instrumen meraih suara, atau setidaknya untuk pembentukan citra di depan publik. Bahkan terus berselancar dengan memainkan model playing victim. Drama yang dimulai dari pidato Ahok di Pulau Seribu, Aksi Bela Islam I-III (411 dan 212), penetapan tersangka dugaan makar, Parade Kebudayaan Indonesia 412, upaya lapor-melaporkan aktivis dan tokoh, pemblokiran situs berita onlie, status hukum dan persidangan Ahok, buku Jokowi Undercover, wacana pembubaran FPI, FPI ikut latihan bela negara oleh TNI, konflik FPI versus GMBI, berita hoax di jagad media sosial (seperti di FB dan twitter) dan pemblokiran akun, sampai pada dugaan pelecehan Pancasila. Semuanya menceritakan tentang kegaduhan yang tengah melanda republik ini.
Semua narasi sedang dan nampaknya akan terus berlangsung. Sebagai respon mendasar oleh negara (pemerintah), yang bersifat filosofis, fundamental, nyata dan melembaga, pemerintah Jokowi berencana membentuk Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP PIP). Unit kerja ini dibuat sebagai bentuk respon mendasar atas terjadinya berbagai peristiwa sosial politik akhir-akhir ini yang dikhawatirkan akan membelah rasa kebangsaan dan kehidupan keindonesiaan kita. Pancasila sebagai philosofische grondslag kita bernegara, rasa-rasanya menjadi pijakan bersama kita untuk melangkah kembali sekarang. Upaya ini patut diapresiasi sejauh benar-benar dipakai untuk menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila, bukan menjadikannya sebagai alat hegemoni dan indoktrinasi ala Orde Baru.
Kekhawatiran kolektif ini sangatlah berdasar. Apalagi jika kita melihat dan menelaah secara bijak dan komprehensif, tanpa dipengaruhi oleh entitas politik praktis (Pilkada) atau ego kelompok/golongan. Kelompok yang menjual isu keragaman dan toleransi kemudian menjadikan calon gubernur pilihannya seolah-olah menjadi korban intoleransi dan rasialis adalah tindakan serampangan dan murahan. Apalagi membangun opini dan memolesnya dengan cita rasa intelektualitas. Padahal di dalamnya tetap politik praktis demi kuasa, inilah pelacuran akademik yang sesungguhnya.
Begitu pula bagi kelompok yang memanfaatkan isu-isu agama dengan menjual ayat-ayat suci, sebagai upaya legitimasi atas pilihan politik dan dukungan untuk calon gubernurnya, juga merupakan tindakan menjijikkan. Mereduksi ayat-ayat Tuhan untuk syahwat politik sesaat, mempolitisasi agama dan ulama. Bahkan menjebak “pewaris para nabi” ini untuk dilibatkan secara sadar/tidak sadar, memberikan pembenaran atas pilihan politik Pilkada, ini juga masih terasa sampai sekarang.
Benar sekali bahwa kita saat ini sedang berada di dua posisi yang saling berhadap-hadapan, berdiri tegak diametral dengan musuh politik. Demokrasi agonistik kata Chantal Mouffe. Kebenaran pun menjadi distorsi dan parsialistik. Lebih buruknya lagi, pemilahan hitam-putih tersebut sengaja dibentuk dan disebarkan melalui media sosial. Membangun logika hitam-putih, mengkonstruk logika kekuasaan ala oposisi biner Saussure dan terus mengkotak-kotakkan masyarakat ke dalam perangkap pro Pancasila atau anti Pancasila, mendukung kebhinekaan atau anti kebhinekaan, sikap menghormati keragaman atau anti keragaman dan retorika-retorika hitam putih lainnya.
Tindakan pelabelan yang serampangan ini sudah terjadi semenjak masa pemilu Presiden 2014. Misalkan dengan membangun logika, mendukung Jokowi berarti pro terhadap perubahan, sedangkan mendukung Prabowo berarti pro terhadap Orde Baru. Atau mendukung Jokowi berarti pro komunis dan Cina, sedangkan mendukung Prabowo berarti pro Islam dan NKRI dan ratusan jebakan logika lainnya. Sampai pada Pilkada DKI Jakarta pun suasananya masih serupa, bahkan lebih dramatis, karena kebetulan salah satu calon gubernur beragama Kristen di tengah masyarakat mayoritas Islam di ibu kota negara ini. Muncul kemudian logika, memilih Ahok berarti pro kebhinekaan, sedangkan anti Ahok berarti anti kebhinekaan. Pilih gubernur muslim tapi korupsi, atau gubernur non muslim tapi tidak korupsi. Atau dengan tagline sarkastik gubernur santun tapi korupsi.
Peranan media sosial sangat dominan dalam pembentukan logika-logika parsial dan sesat seperti di atas. Sampai sekarang terus direproduksi oleh para pendukung calon gubernur, yang terus beternak diri (akun) di dunia maya, yang galib disebut buzzer Pilkada, demikian panggilannya. Demokrasi kita sedang dijangkiti penyakit kronis bernama buzzer dan hoax, mungkin ini kalimat yang mesti kita garisbawahi. Rasa kebangsaan kita sedang diancam oleh entitas berita hoax yang juga terus beternak diri. Siapapun yang beternak hoax tersebut, apakah para buzzer Pilkada, atau yang disebut kelompok intoleran atau bahkan hoax yang diternakkan oleh negara (penguasa) yang bagi pemikir seperti Rocky Gerung, hoax model terakhir inilah yang paling berbahaya.
Lantas kemudian apakah fenomena yang sedang merusak rasa kebangsaan kita ini bisa disembuhkan sesegera mungkin? Saya menjawabnya dengan agak pesimis, dan pesemisme saya itu beralasan. Sepanjang negara masih hadir dengan pendekatan kuasa belaka, anti dialog, bersikap mencurigai rakyat, paranoid dengan kritik (yang dipersempit menjadi penghinaan dan pencemaran nama baik), konsisten menggunakan pendekatan keamanan ketimbang kesejahteraan, memosisikan politik di atas hukum, tentulah penyakit kebangsaan ini akan terus berlanjut. Konflik horizontal akan terus mencari bentuknya. Apalagi jika negara yang justru (sengaja) memproduksi konflik horizontal tersebut, sebagai strategi untuk memukul salah satu kelompok. Sungguh inilah model negara Machiavelli yang sebenarnya. Semoga akal dan hati yang jernih senantiasa membimbing kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H