Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah masih tetap menjadi tumpuan bagi masyarakat dunia, untuk mendidik anak-anak, menyiapkan mereka menghadapi kehidupan. Fungsi tradisional sekolah sebagai tempat berlangsungnya aktivitas pendidikan, pengajaran, bimbingan dan pelatihan masih dibutuhkan. Pendidikan acap kali dimaknai secara reduktif, sekadar menjadi sekolah atau sesuatu tentang persekolahan belaka.
Padahal pendidikan itu kata Ki Hajar Dewantara adalah sebuah proses pembudayaan untuk kehidupan manusia yang lebih luhur. Jadi pendidikan merupakan aktivitas kebudayaan yang berfungsi untuk memerdekakan manusia sehingga menjadi manusia yang sesungguhnya. Kemerdekaan lahir dan batin kata bapak pendidikan nasional ini. Pendidikan dan persekolahan masih kita anggap vital, setidaknya sampai saat ini.
Maka taklah heran di Amerika Serika, Barrack Obama punya perhatian yang tinggi terhadap pendidikan. Obama melakukan reformasi pendidikan secara progresif dengan lahirnya undang-undang federal, dikenal dengan “no child left behind”. Begitu pula Indonesia secara monumental memasukkan anggaran pendidikan minimal 20% APBN dan APBD, yang tertulis dalam Pasal 31 UUD 1945 amandemen ke-4, sehingga menjadi kewajiban konstitusional negara untuk mengimplementasikannya. Sebagai hukum tertinggi, konstitusi Indonesia menuliskan kewajiban negara dalam bidang pendidikan tersebut. Pertanda bahwa negara concern akan ikhitiar demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Siapa saja komponen utama yang berada di sekolah? Jawaban minimalisnya adalah peserta didik (siswa) dan guru. Relasi yang dibangun antara keduanya, bukan sekedar relasi pedagogis belaka. Apalagi memandang konstruksinya sebagai relasi ekonomis, tentu ini bagi mereka yang mengajar karena panggilan kapital. Karena guru mengajar sekedar bekerja, bukan karena impian membangun bangsa. Relasinya harus melampaui faktor pedagogis dan ekonomis itu. Sejak para siswa diterima di sekolah, maka mulai dari detik itu, sekolah harus menjadi rumah kedua bagi siswa. Lingkungan yang membesarkannya selama 6 sampai 12 tahun (SD-SMA). Tentu waktu yang lama itu akan membangun cerita yang beragam pula.
Pedagogi Kritis
Di level SMA misalnya, relasi yang tercipta semestinya bukan relasi kuasa. Guru mengajar dan siswa diajar. Guru memberikan materi, siswa menerima materi. Guru bicara di depan kelas, siswa mendengarkan duduk di bangku. Guru menghukum, siswa dihukum. Guru tidak masuk kelas, siswa tidak belajar. Guru superior, siswa inferior. Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa, dan seterusnya. Jika model relasi ini yang terbangun, maka inilah yang Paulo Freire (1972) katakan sebagai model pendidikan a la bank (banking concept of education). Inilah relasi pedagogi minus menurut penulis. Disebut minus karena model ini masih kuat tertanam dan dipraktikkan dalam ruang-ruang kelas di republik ini. Sehingga apa yang diharapkan Ki Hadjar Dewantara tadi, yaitu menjadi manusia yang sesungguhnya, selalu minimal hasilnya.
Harapannya tentu relasi pedagogis yang terbangun adalah relasi pedagogi kritis-progresif. Bagi penulis relasi pedagogi kritis-progresif ini terinspirasi dari tulisan-tulisan dan pemikiran filsuf seperti Paulo Freire, Henry A. Giroux dan Ivan Illich. Pedagogi kritis ini membuka alam pikir kita bahwa pendidikan senantiasa memiliki warna ideologisnya sendiri. Warna ideologis pendidikan tersebut tak banyak disadari oleh para guru apalagi siswa. Karena pendidikan dijauhkan dari konsep kekuasaan. Padahal pendidikan tak bisa kita jauhkan dari konsep negara, ideologi dan kekuasaan itu sendiri. Relasi pedagogi kritis-progresif ini akan membuka alam pikir para guru, bahwa guru mesti menghadirkan suasana pembelajaran yang terbuka, setara, demokratis dan kritis bersama siswa.
Berguru kepada Tjokroaminoto
Kemudian bagi penulis, selain relasi pedagogis yang dibangun oleh guru dan siswa di sekolah. Satu lagi tak kalah penting adalah relasi ideologis. Apa yang dimaksud relasi ideologis antara guru dan siswa dan bagaimana bentuknya? Untuk menjawab pertanyaan dasar ini, penulis teringat tentang apa yang dilakukan oleh seorang guru bangsa bernama Haji Oemar Said Tjokroaminoto. HOS Tjokroaminoto (1884-1934) sebagaimana tertera dalam kitab-kitab sejarah merupakan sosok guru bagi para pendiri bangsa ini. Penulis sungguh merasakan getaran ideologis, yang terpancar dari rautnya ketika menonton Film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” (2015).
Tak terbayangkan seorang “De Ongekroonde van Java” atau Raja Jawa tanpa mahkota, demikian kolonial Belanda menjulukinya, menjadi figur bapak, guru sekaligus kawan berdiskusi bagi anak-anak muda bernama Soekarno, SM. Kartosuwiryo, Muso, Alimin dan Semaun. Kita mafhum jika HOS Tjokroaminoto adalah seorang intelektual muslim taat, seorang sosialis Islam, organisatoris andal, orator, agitator ulung, ketua Sarekat Islam dan seorang ideolog. Bukunya berjudul “Islam dan Sosialisme” (1905) masih bisa kita baca sampai sekarang.
Seorang ideolog sosialisme Islam (walaupun bagi HOS Tjokro, sosialisme Islam yang dia uraikan bukan berdasar kepada materalisme historisnya Karl Marx, melainkan Al-Quran), memiliki murid-murid (lebih spesifik sebagai anak kost di rumahnya di Surabaya), yang di kemudian hari memiliki orientasi warna ideologi yang beragam pula. Soekarno (1901-1970) seorang proklamator, nasionalis sejati, sosok yang dipengaruhi oleh warna Islam, marxisme dan nasionalisme. Kartosuwiryo (1905-1962) memiliki warna sendiri, dilabeli sebagai “pemberontak”, bahkan dihukum mati oleh tentara, karena memproklamirkan Darul Islam/Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949. Mungkin jika hidup di zaman ini, Kartosuwiryo akan disebut Islam radikal atau fundamentalis Islam.