Mohon tunggu...
Satriwan Salim
Satriwan Salim Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik di SMA Labschool Jakarta-Univ. Negeri Jakarta (UNJ). Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pengurus Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Alumni Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Bisa kunjungi Blog saya di www.satriwan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghadirkan Ki Hadjar Dewantara di Sekolah

15 Juni 2017   11:59 Diperbarui: 15 Juni 2017   12:30 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini meningkatnya aksi kekerasan, intoleransi, anti kebhinekaan, kebencian yang berujung kepada radikalisme menjadi pemberitaan sehari-hari. Hal tersebut memunculkan persoalan pokok, apakah sebegitu rapuhnya rasa kebangsaan kita yang sudah dibangun ratusan tahun, jauh sebelum Indonesia merdeka?

Bagi seorang pendidik, tentu merawat optimisme kebangsaan adalah tugas mutlak adanya, dalam rangka ikhtiar kolektif menjaga keindonesiaan ke depan, seperti yang diucapkan Bung Karno bahwa kita bernegara bukan hanya untuk satu windu saja usianya, tetapi tujuan kita bernegara adalah seribu windu lamanya.

Sekarang yang mendesak segera dilakukan adalah, bagaimana mewujudkan peran strategis sekolah (guru), melakukan upaya bersama menumbuhkembangkan watak kebangsaan seperti nilai-nilai toleransi, kebhinekaan, rasa persatuan dan jiwa gotong-royong yang menjadi ciri khas bangsa ini. Peran penting guru dan sekolah merupakan keniscayaan. Menimbang para generasi bangsa, yang nota bene adalah pelajar menjadi pewaris tunggal republik ini ke depan. Akan mengerikan sekali narasi sejarah bangsa nantinya, jika para generasi bangsanya mengalami defisit karakter kebangsaan tersebut.

Secara umum strategi deradikalisasi yang bisa dilakukan pemerintah, setidaknya bisa menyentuh tiga (3) kelompok utama: sekolah (formal), keluarga (informal) dan lingkungan/kelompok masyarakat (nonformal). Kita akan coba mengelaborasi bagaimana mewujudkan peran strategis sekolah (guru) dalam rangka menyemai watak kebangsaan di sekolah. Sebagai upaya bersama dalam proses deradikalisasi.

Dikatakan Ki Hadjar Dewantara (1889-1959), hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Pendidikan umumnya berarti daya-upaya memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak yang tak dapat dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup (1977: 14-15).

Tugas utama seorang guru yaitu memberikan ruang kepada peserta didik untuk menemukenali jati dirinya sebagai individu, makhluk sosial dan ciptaan Tuhan, yang memiliki potensi beragam. Filosofi pendidikan karakter menurutnya dibagi dalam empat (4) aspek utama: olah pikir, olah raga, olah rasa & karsa dan olah hati. Sudah sedemikian sempurna rasa-rasanya jika kita memahami secara mendalam, konstruksi filosofi pendidikan menurut menteri pendidikan dan kebudayaan pertama ini.

Kewajiban guru berdasarkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 35 ayat (1) mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan, melaksanakan, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik. Dalam seluruh rangkaian pembelajaran itulah, 4 filosofi pendidikan di atas mutlak dilaksanakan.

Untuk menyemai karakter kebangsaan, dimensi olah pikir bisa diwujudkan dengan menumbuhkan gerakan literasi di sekolah, tidak hanya dilakukan guru mata pelajaran bahasa & sastra atau ilmu sosial, tapi juga oleh guru seni, prakarya, ilmu alam bahkan agama dan olahraga. Pengembangan kapasitas intelektual ini sebagai implementasi olah pikir, melalui model literasi sebagai cara paling mendasar mengubah realita Indonesia, yang menduduki posisi 60 dari 61 negara dalam hal membaca. 

Literasi merupakan upaya bersama memupuk rasa keingintahuan, berpikir terbuka, empati, kritis, reflektif, cinta ilmu, kemampuan menuliskannya serta mengkomunikasikan kepada orang lain. Seperti kata orang bijak, makin banyak buku yang dibaca, makin empati kita terhadap perbedaan. Inilah yang masih kurang ditampilkan guru-guru. Makanya tak heran jika ada siswa, terobsesi mendirikan khilafah bahkan bersimpati kepada organisasi teroris ISIS atau lebih nyaman berkawan dengan yang seagama saja.

Kemudian olah raga, aspek yang dirasa hanya seolah-olah menjadi "pelengkap" sistem pendidikan. Padahal dalam lagu kebangsaan kita termuat bait: "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya." Menjadi pelajaran berharga, jika anak-anak Indonesia harus sehat fisiknya, memiliki daya tahan dan daya juang tinggi (nanti akan terkristalkan menjadi ketahanan nasional), berprinsip dan disiplin. Tapi para guru terlanjur mereduksi bahwa olah raga itu ya sebatas "olah raga" sebagai mata pelajaran. Akibatnya harapan menjadi sehat, disiplin dan berdaya juang tinggi itu hanyalah tugas administratif guru olah raga semata, ini yang paling keliru.

Padahal semua guru tanpa terkecuali harus mampu mendisain pembelajaran yang oleh Conny Semiawan dikatakan sebagai "an invitational learning environment" (pembelajaran yang  mengundang). Mengundang antusiasme siswa, totalitas dalam beraktivitas, meliputi aktivitas otak, hati, jiwa dan raga. Sehingga pembelajaran di kelas akan sangat bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun