Sangat penting dinsyafi, berkat kelapangan hati tokoh-tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo atau KH. Wahid Hasyim, maka atas masukan dari Bung Hatta, tujuh (7) kata dalam Sila I Pancasila di Piagam Jakarta ini dihapuskan, sehingga menjadi format Pancasila sebagaimana terdapat dalam Mukadimah/Pembukaan UUD 1945, sampai sekarang ini.
Tiga versi waktu di atas selalu membangkitkan ghiroh romantisme sejarah kita, khususnya bagi mereka yang menonjolkan rasa politiknya ketimbang strategi mebumikan Pancasila itu sendiri.
Bagi saya polemik tanggal lahir Pancasila ini sudah mestinya diselesaikan, karena hal yang lebih mendesak untuk segera dilaksanakan adalah bagaimana strategi kita sebagai sebuah nation state mampu mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam laku lampah sehari-hari oleh masyarakat dan berupa kebijakan negara yang selalu bernafaskan jiwa Pancasila itu,
Inilah tugas pokok kita sebagai bangsa. Harus diakui jika sila-sila yang diungkapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 tersebut secara prinsipil dan mendalam taklah berjarak alias sama secara substantif dengan sila-sila Pancasila dalam UUD 1945. Walaupun begitu Bung Karno tetap dengan tawadhumengatakan:
“Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala”. (Soekarno dalam Latif, 2011: 20-21)
Begitu besarnya kerendahan hati penggali Pancasila ini. Bahkan jika ditelisik kembali dari kalimatnya di atas, justru Bung Karno berbicara dimensi hakikat, yaitu sesungguhnya Pancasila merupakan pemberian dari Allah SWT, sebagai Sang Pemilik Ilmu. Artinya adalah Pancasila adalah anugerah Allah bagi bangsa Indonesia, melalui lisan Soekarno.
Problematika Berpancasila
Sementara itu untuk mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila ini, keberadaan Pancasila menurut Kuntowijoyo dapat diukur dengan tiga (3) faktor; konsistensi, koherensi dan korespondensi. Ketiga faktor tersebut gagal dilaksanakan oleh Orde Lama dan Orde Baru, demikian penilain Kuntowijoyo. Bahkan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang terkenal itu berkembang “amat jauh”, ke wilayah yang nota bene domain agama. Faktanya yang terjadi adalah penyelewengan Pancasila oleh rezim penguasa.
Oleh karena itu perlu kiranya melakukan upaya mendesak untuk (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengganti persepsi dari Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan (4) Pancasila yang semula melayani kepentingan vertikal menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal. Inilah yang dinamakan Kuntowijoyo sebagai radikalisasi Pancasila. (Kompas, 2001)
Sedangkan Azyumardi Azra (Kompas, 2004) menawarkan ide rejuvenasi Pancasila agar Pancasila bisa kembali hidup. Istilah rejuvenasi Pancasila yang Azyumardi kemukakan merujuk kepada proses pembaharuan kembali yang bersifat lebih nyata sehingga dapat mengubah citra atau persepsi publik. Karena pasca reformasi ’98 Pancasila secara negatif diasosiasikan dengan Orde Baru. Sehingga perlu untuk membentuk citra baru.
Dalam rangka rejuvenasi Pancasila tersebut Azra mensyaratkan adanya diskursus publik agar bisa memaknai kembali Pancasila dan nilai-nilainya. Selanjutnya dalam tulisannya mengatakan: