Mohon tunggu...
Satriwan Salim
Satriwan Salim Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik di SMA Labschool Jakarta-Univ. Negeri Jakarta (UNJ). Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pengurus Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Alumni Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Bisa kunjungi Blog saya di www.satriwan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Paulo Freire dan HOS Tjokroaminoto

15 Desember 2016   22:00 Diperbarui: 15 Desember 2016   22:18 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

            Lain lagi dengan sosok Muso, Semaun dan Alimin. Tiga sosok ini merupakan trio komunis, walaupun jalan hidupnya masing-masing berbeda. Bahkan Muso (1897-1948), juga berakhir tragis di ujung senapan republik, ketika dituduh memberontak kepada pemerintahan yang sah, yang dikenal dengan “Pemberontakan PKI Madiun 1948”. Semaun (1899-1971), seorang komunis tulen, berani memberotak pemerintah Hindia Belanda tahun 1926, masa tuanya diwarnai dengan menjadi dosen ekonomi. Lain cerita dengan Alimin (1889-1964), yang setelah meninggal justru diangkat sebagi pahlawan nasional oleh Orde Lama, dan perlu diingat status tersebut tak pernah dicabut sampai saat ini.

            Bukti historis antara HOS Tjokroaminoto dengan anak-anak muda yang menjadi murid ideologisnya, bagi penulis adalah contoh relasi ideologis yang cemerlang antara murid dan guru. Transformasi ideologis yang terjadi, bukan berarti pemahaman sosialisme Islam ala HOS Tjokro diajarkan secara doktriner kepada semua anak-anak kosnya. Dengan kata lain Tjokro mendoktrinkan pemahaman keislaman yang rigid, non-dialogis dan tertutup. Melalui model relasi kuasa antara guru dan murid. 

Tjokro tahu, sedangkan muridnya tidak tahu. Tjokro adalah satu-satunyanya sumber ilmu bagi muridnya. Penulis pikir tidak seperti itu model pengajaran seorang Tjokroaminoto. Terbukti kelak semua muridnya punya warna ideologi yang berbeda pula. Karena dia tak pernah membentuk warna tertentu (kiri atau kanan) bagi masa depan muridnya. Terlepas ada sentuhan-sentuhan di luar diri Tjokro dan berbagai pengalaman yang dialami oleh para murid selepas keluar dari rumah sang guru.

Lima murid Tjokro di atas menjadi sosok yang memiliki watak, walaupun disebut sebagai pahlawan ataupun dituduh pemberontak. Orang-orang yang memiliki warna sendiri, warna yang tegas, tidak abu-abu. Terlepas berakhir di ujung senapan republik, atau dipuja-puja sebagai proklamaor negara. Tidak peduli fotonya dipajang memenuhi dinding kelas sekolah, atau justru membaca pemikirannya pun menjadi perbuatan terlarang. Semua warna tadi berasal dari satu pancaran sinar yang sama, yaitu Tjokroaminoto. Ya, bagi saya Tjokro adalah matahari itu.

Guru-Guru Ideologis

Nilai utama yang dapat diambil adalah, Tjokro telah menanamkan fundamen kuat, nilai esensial bahwa para muridnya mesti menjadi orang yang mampu berpikir merdeka, menjadi diri sendiri dan hidup berprinsip. Setidaknya ini tergambar dalam trilogi Tjokroaminoto yang terkenal itu “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”. Berpikir merdeka, menjadi diri sendiri dan hidup berprinsip. Ketiga hal inilah yang kita rasakan defisit dicontohkan dalam kehidupan berbangsa saat ini.

Jadi bukan hal yang absurd jika saat ini kita merindukan guru-guru ideologis yang hadir di ruang kelas, perpustakaan, taman sekolah, lapangan, laboratorium, kantin bahkan di rumah dan ruang masjid sekolah. Guru-guru yang tampil dengan jiwa merdeka. Guru yang mendidik, bukan mengajar. Guru yang membangun dialog, bukan asik bermonolog. Guru yang membangun kesetaraan, bukan membangun tembok perbedaan seperti yang Paulo Freire katakan. Guru yang gigih menyelami kerang di dasar lautan, mencoba mengangkat kerang tersebut ke daratan, sehingga menjadi barang sangat berharga, yang bernama mutiara.

Ya, kita para guru terpilih tak bosannya berikhtiar, menyelami dalamnya samudera pemikiran dan potensi yang dimiliki oleh para siswa. Sehingga kita bisa membongkar cangkang keras tersebut, yang di dalamnya bersemayam mutiara berharga. Non scholae, sed vitae discimus, ungkap Seneca. Setidaknya HOS Tjokroaminoto telah berhasil melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun