Untuk pertanyaan tersebut saya menemukan sebuah kisah yang cocok untuk menjawabnya. Let’s do this!
Suatu hari di dalam sebuah ruangan kelas sedang terjadi proses kegiatan belajar mengajar. Saat pelajaran hampir selesai sang guru ingin memberikan sedikit pelajaran hidup untuk anak didiknya.
Guru tersebut mengadakan suatu permainan sederhana. Sang guru lalu membagikan lembaran kertas pada setiap siswa dan mereka diminta membuat gumpalan dari kertas tersebut. Lalu ia meletakan keranjang sampah di depan kelas.
“Lempar dan masukkan gumpalan kertas yang sudah saya berikan pada kalian ke dalam keranjang sampah yang ada di depan kelas ini” Ujar sang guru.
Namun tiba-tiba, siswa yang duduk di bangku bagian belakang mengajukan protes ke gurunya. “Ini sama sekali tidak adil!” ujar siswa tersebut.
Mereka tahu siswa yang duduk di barisan depan lebih berpeluang memasukkan gumpalan kertas ke dalam kotak sampah. Sedangkan siswa yang paling belakan memiliki kesempatan yang paling kecil untuk bisa memasukkan gumpalan kertas ke dalam keranjang sampah.
Selanjutnya, semua siswa mulai mencoba melemparkan gumpalan kertas, dan hasilnya seperti yang diduga, sebagian besar siswa yang duduk paling depan berhasil memasukkan gumpalan kertas ke dalam kotak sampah (tapi tidak semuanya berhasil), sementara siswa yang duduk di belakang, hanya segelintir yang berhasil.
Kemudian guru menjelaskan: “Siswa yang jaraknya lebih dekat dengan kotak sampah jauh lebih berpeluang berhasil memasukkan gumpalan kertas ke dalam kotak sampah.
Seperti inilah wujud kelebihan/keunggulan yang terlihat di masyarakat. Apa kalian sadari, mereka yang khawatir karena sangsi terhadap keadilan itu adalah siswa yang duduk di bangku bagian belakang.”
Cerita singkat diatas adalah secuil dari contoh penerapan privilege yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Keranjang sampah yang menjadi tujuan diibaratkan seperti kesuksesan yang pastinya ingin diraih oleh semua orang.