Pada tahun 1600-an sudah ada perusahaan yang mempunyai sistem struktur organisasi dan pembagian saham (split stock) yang sama dengan perusahaan modern saat ini. Perusahaan itu adalah VOC (Vereenigde Oostindishe Compagnie), yang merupakan perusahaan multinasional pertama di dunia.
Perkembangan bisnis terus berlangsung hingga berkembangnya jalan kereta api di berbagai daerah di Amerika Serikat. Hal ini membuat entitas bisnis di Amerika Serikat yang dulunya beroperasi dengan skala lokal, kini berkembang menjadi berskala regional bahkan nasional. Berkembangnya skala operasi bisnis di Amerika Serikat membuat adanya kebutuhan akan kemampuan memanajemen sebuah bisnis yang terus berkembang. Hingga pada tahun 1908, Havard Business School membuka kelas MBA (Master of Business Administration) pertama di dunia dan pada tahun 1910 melahirkan “first cadre” dari MBA.
Sampai tahun 2000an, mulai disadari ada sesuatu yang keliru ketika orang-orang dengan kemampuan manajemen bisnis tersebut memulai membangun perusahaan baru. Kekeliruan ini disebabkan karena sejak hampir 100 tahun yang lalu kurikulum mereka mengajarkan kemampuan untuk bagaimana menjalankan dan mengembangkan bisnis yang sudah berdiri (existing business). Hal itu dapat dilihat dari matakuliahnya seperti strategi, leadership, organization behavior, HRM, marketing, keuangan, akuntansi, dan sejenisnya yang kurang cocok diterapkan untuk membangun perusahaan baru. Selama itu, paradigma dalam membangun perusahaan baru adalah selalu dengan membuat Business Plan lalu segera dieksekusi. Ini adalah hal yang keliru.
Steve Blank, Professor dari UC Berkeley mengatakan “no business plan survive when first contact with customer”. Hal ini karena Business Plan untuk memulai perusahaan baru hanya berisi asumsi-asumsi yang belum tentu sesuai di lapangan. Kalimat asumsi tersebut misalnya “Produk ini akan dijual ke konsumen anak muda dengan penjualan perdana 1000 unit di tahun pertama dengan laba bersih 200 juta/tahun sehingga membutuhkan 15 orang pekerja dibagian produksi, penjualan, dan akuntansi”. Pembuat Business Plan berpikir secara ajaib itu akan terwujud bila dieksekusi, namun kenyataannya perusahaan rintisan seperti sebuah roller coaster yang kadang naik drastis kadang turun drastis. Perusahaan rintisan berada pada kondisi ketidakpastian yang tinggi dan customer mempunyai banyak alternatif pilihan di zaman ini..
Sebenarnya Business Plan bukannya salah, tetapi entrepreneur salah dalam menggunakannya. Business Plan ideal untuk dibuat ketika sebuah perusahaan memerlukan dana dari investor ketika akan melakukan perluasan pasar atau pengembangan produk, dan untuk menyusun target dan strategi operasional dan finansial dalam periode waktu tertentu.
Akhir-akhir ini ditemukan pendekatan baru dalam membangun perusahaan baru. Steve Blank mempunyai metode dan terminologi yang disebut “Startup” yang artinya organisasi sementara yang didesain untuk mencari model bisnis yang berulang dan bisa diskalakan. Ini adalah pendekatan yang berbeda dari pendekatan sebelumnya dalam membuat perusahaan baru. Pendekatan ini membuat entrepreneur harus “mencari” (business model-nya), bukan “mengeksekusi” (business plan-nya). Model bisnis yang berulang artinya bagaimana caranya agar customer tetap membeli atau menggunakan produk kita, meskipun saat promosi berakhir. Sedangkan bisa diskalakan artinya model bisnis ini dapat diluaskan cakupan operasionalnya.
Dalam mencari model bisnis dan meluncurkan produk, terdapat pendekatan “Lean Startup” yang prinsipnya menggunakan biaya sesedikit mungkin, waktu secepat mungkin, dan sejalan dengan kebutuhan customer.
Elemen dari Lean Startup adalah 1) Business Model Design, 2) Customer Development, dan 3) Agile Development. Business Model Design yaitu aktivitas menggali berbagai kemungkinan pola atau revenue model yang unik dari model bisnis. Customer Development yaitu serangkaian proses validasi untuk membuktikan atau merubah asumsi menjadi fakta. Proses validasi ini ada validasi asumsi masalah-solusi, validasi customer, hingga pivot (banting setir). Sedangkan Agile Development adalah proses pengembangan produk yang secara aktif melibatkan customer bahkan sebelum produk jadi. Ciri khas proses ini adalah adanya MVP (Minimal Viable Product/Produk Layak Minimal) yang merupakan versi lebih sederhana dari prototype.
Membuat perusahaan baru seperti mengarungi hutan rimba. Untuk memudahkan dalam mengarunginya, seseorang membutuhkan alat bantu seperti kompas, peta, tenda, parang, dan sebagainya. Analogi ini cocok juga untuk seorang entrepreneur dalam membuat perusahaan baru. Akhir-akhir ini muncul banyak alat baru yang membantu entrepreneur dalam membuat bisnis baru. Dahulu alat bantu yang populer adalah analisis SWOT dan SLEPT (Social, Legal, Economy, Politic, Technology), namun itu tidak cukup membantu di era yang serba tidak pasti seperti ini. Sekarang muncul alat bantu seperti Business Model Canvas, Value Proposition Canvas, Big Idea Canvas, Kanban, Design Thinking, dan lain-lain.
Adanya elemen dan alat-alat bantu entrepreneur itu dapat merubah pola pikir saya yang tidak percaya dengan rumus klasik “Pokoknya lakukan saja” dan rumus pasti entrepreneur sukses yaitu tekat kuat, panjang akal, waktu tepat, produk hebat, kerja keras, dan kegigihan saja tidak cukup dan tidak serta merta membuahkan keberhasilan. Metode “Startup” dengan elemen beserta alat bantunya adalah cara yang mendorong agar bisa berhasil dengan cepat, dengan prinsip utamanya “gagal secepat mungkin, gagal semurah mungkin".
Akrtikel ini diinspirasi dari online course Steve Blank pada udacity.com dan buku "Lean Startup" yang ditulis Eric Ries.