Sejak terjadinya revolusi industri, dunia berkembang begitu cepat. Untuk mencapai kemajuan seperti ini, suatu peradaban terdahulu membutuhkan waktu berabad-abad lamanya. Penemuan teknologi yang membuat semua ini berkembang begitu cepat. Berkembangnya teknologi membuat berkembangnya bisnis dan industri semakin berkembang pesat pula.
Ironi, bisnis dan industri yang berkembang saat ini sering lupa akan tanggungjawabnya akan 2 dari 3P, People and Planet (dan Profit). Mereka terlalu sibuk memikirkan bagaimana mendapatkan profit saja. Pengalihan fungsi hutan, reklamasi pantai, polusi udara, pencemaran lingkungan, dan sebagainya siapa lagi penyebabnya kalau bukan mereka. Bisnis-bisnis yang seharusnya memecahkan masalah manusia atau customer, justru membuat masalah baru.
Ada teori yang menyebutkan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan keadaan lingkungan seperti sebuah neraca yang sulit sekali seimbang. Artinya ketika pertumbuhan ekonomi naik, maka keadaan lingkungan akan turun, dan sebaliknya. Ada sebuah data yang menunjukan bahwa terdapat 1% populasi penduduk dunia mempunyai kekayaan yang setara dengan 99% penduduk populasi dunia. Ini terjadi karena bisnis-bisnis konvensional saat ini menyerap keuntungan dari bawah ke atas, sehingga diatas yang berjumlah 1% menjadi semakin besar (own everything) dan sisanya 99% yang dibawah menjadi semakin kosong (own nothing). Inilah yang menyebabkan masalah sosial seperti kriminalitas, kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Fenomena ini disebut Selfish Driven Business.
Bukankah para pendiri bisnis-bisnis itu dahulunya adalah pemuda yang mempunyai visi merubah nasib, membuka lapangan kerja, bahkan “make the world as better place”. Sebagian orang melakukan bakti sosial (charity) sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama dan/atau lingkungan. Mereka yang mengambil inisiatif saat kondisi atau yang dilihatnya tidak berjalan semestinya dapat disebut sebagai “Entrepreneur”. Makna entrepreneur sekarang meluas, tidak hanya mereka yang berjualan barang atau menawarkan jasa tetapi juga bagi mereka yang mudah tergerak pikiran, hati, dan tindakannya.
Terdapat dua kutub dalam konteks ini. Kutub pertama adalah profit making, dan kutub kedua adalahcharity. Ditengah kutub ini ada istilah social business, yang mana terdapat dimensi yang disebut social entrepreneurship yang menuju kearah charity, dan terdapat dimensi yang disebut conventional business yang menuju kearah profit making.
Istilah social business dan social entrepreneurship memang mempunyai kesamaan, tapi juga mempunyai perbedaan. Secara sederhana social entrepreneurship artinya memcahkan masalah sosial dengan pendekatan entrepreneurship. Maksud dari pendekatan entrepreneurship adalah suatu proses dengan tahap empathy the problems - design & test the solution - and execute to the market,yang diikuti sikap inisiatif di setiap tahap.
“Mendapatkan uang dengan jerih payah sendiri memang suatu kebahagian, tapi membuat orang lain bahagia adalah kebahagian super. Social entrepreneurship akan memberikan kebahagian super!” dikutip dari Mohammad Yunus, CEO Yunus Center – Grameen Bank (Nobel Prize Awardee)
Kesimpulan dari bahasan saya ini adalah jika Anda melakukan Charity berarti Anda mempunyai sikap Social Entrepreneurship, tetapi Anda tidak mempunyai Social Business. Jika Anda mempunyai Social Business, Anda tidak sekedar charity dan mempunyai sikap social entrepreneurship tapi Anda telah memperbaiki kehidupan sosial secara berkelanjutan.
Artikel ini diinspirasi dari : Muhammad Yunus pada kesempatan Massive Online Open Course - Global Entrepreneurship Summer School
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H