Nama lembaga perlindungan konsumen bisa memberi wibawa tertentu, untuk suatu kampanye menolak produk tertentu. Apalagi jika kampanye itu dilakukan berbekal suatu penelitian ilmiah, yang bisa dipertanggungjawabkan di depan komunitas keilmuan terkait. Hasil dan rekomendasinya bisa sangat kuat, karena diakui kredibilitasnya.
Namun, jika survei yang dilakukan cuma basa-basi biar dianggap “ilmiah,” dan tidak nyambung dengan materi atau substansi yang diteliti, ini bisa berdampak negatif dan merugikan banyak pihak, termasuk masyarakat. Terutama, jika argumen yang dibangun lemah, dan rekomendasi yang diajukan juga terkesan dipaksakan dan mengada-ada.
Tampaknya, itulah yang dilakukan Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi. Pada Jumat (18/03/2022), ia mengumumkan hasil survei berjudul: “Monitoring dan Pengawasan Paska Pasar terhadap Pemasaran Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Wilayah Jabodetabek YLKI terkait pemasaran AMDK di Wilayah Jabodetabek.”
Menurut presentasi Tulus, jenis penelitiannya disebut “observasional deskriptif.” Pendekatan metodenya: data kuantitatif. Alat pengumpulan data: kuesioner. Waktu dan tempat survei adalah 25 Februari-17 Maret 2022 di wilayah Jabodetabek.
Dikatakannya, populasi survei post market adalah toko yang menjual AMDK galon. Ini meliputi supermarket, minimarket, agen, dan warung. Total sampel 334 toko. Sedangkan populasi penelitian survei konsumen adalah seluruh konsumen, yang pernah atau berlangganan dalam pengkonsumsian AMDK di Jabodetabek. Total sampelnya 307 konsumen.
Kesimpulan Terkait BPA
Dari situ, Tulus menyimpulkan: (1) Mencermati hasil survei YLKI pada mata rantai distribusi dari proses pengangkutan yang menggunakan truk/kendaraan terbuka (85%), hingga penyimpanan produk yang tidak sesuai pada galon AMDK, sangat beresiko terkena sinar matahari langsung (59% toko), yang dapat berpotensi memicu migrasi BPA pada kemasan galon guna ulang.
(2) Mayoritas penjual menyatakan, baik dari pihak produsen maupun pihak asosiasi belum memberikan edukasi terkait penyimpanan AMDK.
(3) Masih terdapat 10,8% konsumen yang tidak tepat dalam menyimpanan produk AMDK, dengan dilengkapi data 59,2% responden yang belum mengetahui secara jelas dan rinci mengenai label petunjuk penyimpanan AMDK. Serta terdapat 40,1% responden yang sama sekali tidak mengetahui tentang zat BPA pada kemasan galon.
Dari hasil survei yang “mengambang” seperti itu, Tulus membuat tujuh butir rekomendasi. Tetapi saya kutip lima yang terpenting (sesuai presentasi power point yang disajikan Tulus):
Pertama, pihak produsen harus memenuhi standar yang sesuai dalam proses pendistribusian produk AMDK, agar tidak terkena sinar matahari langsung, demi menjaga kualitas pangan dan kemasannya.