Â
Bagi kalangan civil society di Indonesia, Djohan Effendi bukanlah nama asing. Tokoh-tokoh dari berbagai agama mengakui, Djohan Effendi adalah sosok penting yang telah banyak memberi sumbangsih, dalam upaya pengembangan kehidupan keagamaan yang dialogis, harmonis, dan terbuka di Indonesia.
Tanggal 1 Oktober 2021 adalah tepat 82 tahun kelahiran Djohan Effendi, yang diperingati oleh para murid, kerabat, sahabat dan koleganya. Berbagai kalangan berkumpul untuk merayakan pemikiran dan perjuangannya.
Acara ini  diselenggarakan oleh Esoterika dan Kelompok Studi Proklamasi. Kelompok Studi Proklamasi adalah kelompok Studi mahasiswa binaan Djohan Effendi, yang amat populer pada era 1980-an.  Acara ini dipimpin oleh dua murid Djohan Effendi anggota Kelompok Studi Proklamasi , Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher.
Acara  ini juga dihadiri oleh berbagai kalangan dan perwakilan dari agama-agama dan kepercayaan di Indonesia. Antara lain: Omi Komaria Madjid, Sudhamek AWS, Ulil Abshar-Abdalla, Budi Santoso Tanuwibowo, Lukman Hakim Saifuddin, Romo Ismartono, Sj, Musdah Mulia, Denny JA, Jimly Asshiddiqie, Rudi Soraya, Engkus Ruswana, Zafrullah Ahmad Pontoh, Elga Sarapung, Sylvana Avituley, Neng Dara Affiah, Halimah Munawir, Amanda Damayanti, dan Ilma Sovri Yanti.
Djohan Effendi lahir pada 1 Oktober 1939 dan wafat 17 November 2017, di usia 78 tahun di RS Geelong, Australia. Meninggalnya Djohan adalah sebuah kehilangan. Namun, ia mewariskan semangat untuk menghormati keberagaman dalam kehidupan keagamaan.
Titik Temu Lewat Dialog
Sejak tahun 1970-an, Djohan telah mengembangkan upaya untuk menciptakan titik temu melalui dialog antariman di Indonesia. Djohan-lah yang menginisiasi program kerukunan umat beragama melalui Departemen Agama, tempat ia berkiprah sejak zaman Soeharto.
Tidak puas dengan program di dalam birokrasi, ia juga menstimulasi lahirnya berbagai komunitas dan lembaga lintas iman di luar lembaga negara. Bersama kawan-kawan seperjuangannya, Djohan turut mendirikan DIAN-Interfidei di Yogyakarta, Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) di Jakarta.
Saat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, Djohan Effendi diangkat menjadi Menteri Sekretaris Negara. Sebelumnya, ia merupakan Staf Khusus Sekretaris Negara/Penulis Pidato Presiden Soeharto (1978-1995) dan ia telah menulis ratusan pidato untuk Presiden Soeharto.
Namun, Djohan mengundurkan diri di tengah jalan dari jabatan Menteri Sekretaris Negara, karena merasa tak nyaman. Ia lebih memilih mendorong masyarakat sipil untuk terus bergerak di lapangan, mengupayakan dialog lintas iman yang lebih luas. Djohan turut mendampingi kelompok-kelompok minoritas yang didiskriminasi di Indonesia.