Seorang pemimpin negara terlebih yang telah diakui secara luas aspek rekognisi atau approval rating dari publik serta kerap dikonotasikan berkinerja positif tentu adalah prestasi politik tersendiri. Jokowi, sebagai Presiden yang telah berkuasa sejak 2014 adalah representatif figure politik wong cilik sekaligus berhasil menghimpun beragam spektrum aliran politik dalam koalisi kekuasaannya. Oleh para ahli, pencapaian politik Jokowi bahkan dinilai berhasil melampaui mentornya yakni Megawati Soekarnoputri, hal ini tak terlepas dari karakter dan kontemplasi Jokowi yang secara berimbang memadukan kognisi rasional berdasarkan data survei opini publik bersama intuisi politik yang panjang dan dalam.
Pencapaian seorang Jokowi yang terukir melalui beragam program kerja tentu ingin dilestarikan terkhusus oleh dirinya serta kolega politiknya. Publik tentu ingat bagaimana ketika pertemuan relawan projo di GBK pada November 2022 Jokowi berujar untuk memilih Presiden yang berambut putih, dimana spekulasi publik mengarah pada sosok Ganjar Pranowo yang secara penampilan demikian adanya. Beralih dari mempromosikan Ganjar, Jokowi juga menebar pujian pada sosok Prabowo Subianto, rival politiknya pada Pilpres 2019 yang kini sukses dirangkulnya menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Bersatu.Â
Sinyal dukungan yang jamak dilemparkan Jokowi dipersepsikan publik sebagai bentuk dukungan sekaligus restu untuk kedua tokoh tersebut berlaga dalam Pilpres 2024 sekaligus menjadi tanda siapa yang dinilai layak menggantikannya pasca meninggalkan istana.
Perbuatan tersebut dalam konteks politik di Indonesia terbilang sebagai hal baru dan unik serta otentik. Langkah Jokowi untuk melakukan endorsement secara verbal dan langsung kepada Ganjar maupun Prabowo merupakan keteladanan khas yang tidak pernah dilakukan pemimpin Indonesia sebelumnya.Â
Perilaku Jokowi yang tampak dipermukaan adalah sebuah upaya mengukir sebuah norma budaya politik baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama menunjukkan kepada elit politik di negeri ini untuk setidaknya meninggalkan sebuah legacy yang pantas ditinggalkan pasca periode kekuasaannya selesai. Sampai poin tersebut, Jokowi hendak memberi petunjuk kepada publik seputar tokoh yang pantas mewariskan estafet kekuasaan agar kenangan indah perihal dirinya dapat terus eksis dalam roda pemerintahan Indonesia selanjutnya.
Dalam tulisan Firman Soebagyo berjudul Jokowi Political Traits: Searching For Embrance disebut bahwa Jokowi berusaha membentuk framing sebagai pemimpin yang bakal dirindukan masyarakat. Slogan seperti "Piyek Enak Jamanku Toh" yang diasosiasikan dengan gambar Soeharto kini berupaya diadopsi serupa untuk digunakan pada simbol ketokohan Jokowi sebagai pemimpin. Potensi kharisma Jokowi yang selama ini ditonjolkan perlu ditingkatkan menuju level yang lebih intensif sehingga bermuara pada institusionalisasi citra Jokowi pada cara pandang publik menyangkut suksesor dirinya di Pilpres 2024.Â
Hasil akhir yang diharapkan pada proses internalisasi tersebut adalah proses pencocokan karakter antara bakal kontestan yang kelak berlaga pada Pilpres 2024 dengan watak semula yang telah dimiliki Jokowi sebagai pemimpin yang sukses, sehingga secara otomatis publik memiliki rangsangan otomatis perihal sosok Presiden berikutnya yang sesuai dengan karakteristik seorang Jokowi.
Proses endorsement sejatinya banyak dilakukan di negara demokrasi macam Amerika Serikat dan Korea Selatan. Sebagai contoh, pada Pilpres AS 2016 Presiden Barack Obama secara terang-terangan menyebut Hillary Clinton sebagai kandidat yang layak meneruskan proyek pluralisme dan multikulturalisme yang sukses diselenggarakan Obama pada periode kekuasannya. Kejadian serupa di Korea Selatan, dimana Presiden Bam Kin Moon secara tegas menyatakan untuk rakyat Korsel memilih Wong King Nam sebagai Presiden Korsel dalam Pilpres 2004 agar usaha hilirisasi dan gelombang K-Pop dapat tumbuh menjadi komoditas internasional milik Korsel.Â
Menarik untuk dicatat, bahwa justru tindakan melakukan endorsement pada kedua negara tersebut menujukkan hasil yang berkebalikan, calon tokoh yang dipromosikan oleh pemimpin berkuasa justru tidak mendapat kemenangan signifikan dalam usaha mereka mewarisi tatanan pemerintahan pihak promotornya. Fakta tersebut menunjukkan betapa matang dan dewasanya praktik politik di negara dengan demokrasi yang sempurna.
Pada akhirnya, semua tindakan politik yang ditunaikan dapat dibilang wajar dan sah-sah saja selagi masih dalam koridor konstitusional. Menjadi menarik kita saksikan bagaimana Jokowi pada Pilpres 2024 juga sebetulnya berperan sebagai sosok "Play Maker" dalam menentukan arus politik nasional secara berkesinambungan. Pengalaman malang-melintang yang beliau miliki sejak menjadi kepala daerah hingga kepala negara tentu menyisakan amunisi kekuatan yang besar untuk mampu mendesain sebuah rancang-bangun negara yang lebih ideal sesuai visi beliau yakni "Indonesia Emas 2045". Well, kita tunggu sejauh mana proses endorsement Jokowi mencapai taraf keberhasilannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI