Katakanlah, ada seseorang yang hendak merubah sebuah rumah kumuh menjadi rumah mewah. Ketika belum bisa bicara banyak tentang ini dan itu seputar perubahan rumah tersebut, seseorang tadi terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana akses masuk ke dalam rumah itu, tanpa harus membuat kerusakan yang lebih parah lagi, seperti menjebol tembok. Seseorang itu, harus menemukan pintu yang tidak terkunci, atau menemukan kunci untuk membuka pintu yang terkunci.
Dalam bentuk yang sebenarnya. Apa yang perlu seorang da’i lakukan untuk menyeru kepada Islam. Seorang da’i harus tahu, dari sisi mana ia bisa mendekati dan memasuki fikiran mad’u-nya(orang yang menjadi objek). Dan sebagaimana letak pintu yang berbeda-beda pada tiap rumah, demikian juga pada tiap manusia dengan karakter yang beragam. Setiap manusia punya pintu yang bisa diketuk hingga kemudian dibukakan, atau bila tidak, sewaktu-waktu perlu di dobrak.
Bagi manusia, pintu itu adalah apa yang mereka sukai, bidang mereka, cita-cita, hobi, atau apapun yang berbau mereka. Seorang anak band misal; tentunya hidayah akan lebih cepat bila dikemukaan melalui lagu dan musik. Mendekati dia melalui sisi seni. Hal ini sebagaimana hadist Nabi Muhammad s.a.w. :
Kami, golongan Nabi-Nabi, diperintahkan agar menempatkan manusia sesuai dengan kedudukannya masing-masing, dan berbicara dengan mereka menurut taraf kecerdasannya masing-masing. (H.R. Abu Daud)
Islam bukanlah sebuah Agama yang hanya mengenal satu cara dalam berdakwah. Islam bukan pula Agama yang melarang hal-hal tertentu dengan alasan karena hal itu merusak dan sebagainya sehingga harus dijauhi. Islam adalah Agama yang seolah-olah berkata, segala sesuatu adalah netral. Manusia yang menentukan sesuatu itu menjadi baik atau buruk. Jadi, musik, tari, lukis, dan sebagainya yang cukup membuat sebagian ulama berusaha meninggalkan hal itu; sebenarnya adalah suatu hal yang berguna. Allah tidak pernah menciptakan sesuatu yang tidak berguna. Tinggal bagaimana manusia dalam menggunakannya. Maka memang, jika kita lihat dunia musik sekarang yang sedemikian rusak, hal itu adalah keburukan yang dikarenakan manusianya yang tidak terdidik keimanannya. Tapi melihat hal ini para da’i tidak boleh lantas meninggalkan hal itu. Justru ekspansi ke dalamnya harus simultan, agar bisa meng-counter apa yang dilancarkan oleh musuh Islam melalui media musik itu. Bila para da’i justru meninggalkan hal itu, maka sudah pasti serangan musuh Islam akan semakin menjadi-jadi.
Oleh karena itu, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan dalam mendekati sang mad’u :
1.Berkenalan
Tidak mungkin kita bisa mengetahui dimana pintunya bila kita sendiri tidak mengenalnya atau dia mengenal kita. Mustahil—jika bukan karena keajaiban—seorang mad’u langsung menuruti orang yang baru dikenalnya padahal da’i itu bukanlah siapa-siapa. Bukan ustadz kondang, waliyullah, atau apapun.
2.Dari mana memulai & bagaimana caranya
Yang dimaksud dengan dari mana memulai berbeda dengan menemukan pintu. Dari mana memulai, sama dengan, setelah pintu ditemukan dan bisa dibuka, hal apa yang akan dikatakan dan disentuhkan pertama kali kepada sang mad’u. Setelah starting nya sudah diketahui, baru perencanaan secara keseluruhan; bagaimana caranya?
3.Sistematika yang akan dijadikan panduan.
Ini sudah jelas, Al Qur’an dan As Sunnah, serta kitab-kitab shohih lainnya.
Yang jelas, pendekatan kepada mad’u tidak boleh berupa suatu pendekatan yang mendadak, tanpa tujuan, tanpa acuan, tanpa perhitungan, dan banyak dipengaruhi oleh perasaan, kemauan, dan pendapat pribadi sang da’i. Da’i sukses adalah da’i yang mampu memberikan apa yang diperlukan oleh tiap individu.
Satu lagi hal jitu yang musti diketahui dan dikuasai, yakni penggunaan cara-cara tak langsung. Maksudnya adalah, bukan asal melabrak seseorang, menyalahkan dia terang-terangan, atau menjawab dengan jawaban yang keras yang semustinya tidak diketahuinya terlebih dahulu. Para da’i harus menguasai apa yang Rasulullah s.a.w. contohkan :
1.Pernah ada seseorang yang meminta izin kepada Rasulullah s.a.w. untuk berzina. Mendengar ini, Rasulullah s.a.w. tidak lantas melabrak orang itu dengan mengatakan bahwa dia lancang, dusta, dan sebagainya. Tidak! Yang Rasul lakukan justru, berganti tanya, dengan menanyakan apakah ia rela apabila ada orang berzina dengan ibunya, saudara perempuannya, dengan putrinya; hingga akhirnya orang itu insaf dengan sendirinya.
2.Demikian juga ketika ada seseorang yang tertarik kepada Islam tapi enggan melakukan amalan-amalan Islam. Disini Rasulullah bersabda : “maukah engkau berjanji kepadaku untuk meninggalkan dusta?”. Mendengar ini, orang itu berfikiran bahwa ini tentu ringan sekali. Hanya meninggalkan satu dosa saja, yakni berdusta. Tapi ternyata, dikemudiannya, tiap kali ia hendak melakukan perbuatan yang dosa, maka ia teringat janjinya. Terus demikian, maka ia tidak pernah berbuat dusta lagi, hingga benar-benar menjadi orang yang baik.
Demikianlah tips-tips kecil sebagai seorang da’i. Terakhir, dakwah seorang da’i tidak boleh lepas dari kendali dirinya sendiri yang meliputi :
1.Insaf terhadap kadar pengetahuannya dan berusaha beramal sesuai dengan kadar pengetahuannya itu.
2.Istiqomah dalam beramal dan mengamalkan walaupun sedikit.
3.Rajin menuntut ilmu untuk terus menambah pengetahuannya, mengikuti kemajuan zaman yang baik, bersikap terbuka, mempunyai daya fikir dan daya bina.
Semoga bermanfaat untuk kaum muslimin...[]
Dikutip dari :
Bagaimana Menyeru Kepada Islam, Bab 2, Fathi Yakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H