Mohon tunggu...
Satria Sukmanegara
Satria Sukmanegara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bohongan

Larangan adalah perintah, bercerita tanpa batas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen "Dosen: Dewa yang tak tersentuh" Karya Satria Sukmanegara

2 Oktober 2024   10:59 Diperbarui: 2 Oktober 2024   11:05 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah kampus megah bercat kuning gading itu, para mahasiswa berlalu lalang dengan seragam dan tas ransel yang seragam pula. Semuanya terburu-buru, mengejar mata kuliah dan deadline tugas yang tak henti-hentinya. Namun, di balik hiruk pikuk aktivitas akademik, tersimpan sebuah realitas pahit: para dosen, dewa yang tak tersentuh.

Pak Aris, dosen mata kuliah Filsafat, adalah contohnya. Sosoknya gagah dengan kacamata tebal dan kumis tipis yang terkesan intelektual. Ceramahnya berapi-api, mengutip Plato dan Aristoteles dengan lancar, membuat mahasiswa terkesima. Namun, di luar kelas, Pak Aris berubah menjadi sosok yang berbeda. Kritik pedas bagi mahasiswa yang berani mempertanyakan metode pengajarannya. "Kalian harus belajar, bukan bertanya!," teriaknya, seraya menuding jari telunjuknya ke wajah mahasiswa yang gemetar.

Ibu Lita, dosen mata kuliah Sosiologi, tak kalah angkuh. Ia selalu hadir tepat waktu, berpenampilan modis, dan dengan nada datar menerangkan materi yang rumit. Mahasiswa yang bertanya di luar kelas akan ditanggapi dingin, "Saya sudah jelaskan di kelas, baca buku!"

Tak hanya Pak Aris dan Ibu Lita, hampir semua dosen di kampus itu menunjukkan perilaku yang sama. Mereka seolah-olah terlahir dari kelas atas, melampaui jangkauan mahasiswa biasa. Kesenjangan itu terasa semakin lebar saat mereka dengan entengnya menaikkan nilai mahasiswa yang dekat dengannya, atau bahkan memberikan nilai sempurna tanpa proses pembelajaran yang berarti.

Suasana kampus yang seharusnya menjadi tempat bertukar ilmu pengetahuan, berubah menjadi arena penindasan terselubung. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi subjek aktif, terjebak dalam hirarki yang tak adil. Mereka takut, tak berani berpendapat, dan akhirnya pasrah. Mereka hanyalah pengikut, pengagum yang patuh, menyembah dewa-dewa yang tak tersentuh.

"Kita seperti pion yang diputar-putar oleh dewa," gumam Reza, mahasiswa semester akhir, saat ia melihat Pak Aris dan Ibu Lita bercengkrama akrab di kantin.

Suatu hari, Rani, mahasiswa semester awal, memutuskan untuk melawan. Ia menulis artikel kritis tentang perilaku para dosen di kampus, diterbitkan di media daring. Artikelnya menjadi viral, memicu diskusi hangat di media sosial.

"Akhirnya ada yang berani bersuara!" tulis akun @SundaLover.

"Semoga kampus ini kembali menjadi tempat belajar yang adil," tulis akun @MahasiswaMerdeka.

Rani, yang tadinya takut, merasa lega. Ia sadar, setiap individu memiliki peran penting dalam membangun sistem pendidikan yang adil. Memang tak mudah untuk melawan dewa yang tak tersentuh, namun, dengan keberanian dan persatuan, kemungkinan untuk mentransformasi kampus menjadi lebih baik terbuka lebar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun