Udara kampus terasa menyesakkan, bukan karena panasnya mentari, melainkan karena beban mimpi yang tak kunjung terwujud. Di antara deretan gedung megah dan taman yang terawat, tersimpan derita para mahasiswa. Mereka terjebak dalam pusaran harapan dan kenyataan yang tak sejalan, merangkak di lorong mimpi yang berujung pada kekecewaan.
"Lulus kuliah? Kapan?" tanya Rini, seorang mahasiswi semester akhir, suaranya bergetar kecewa, menyertakan sedikit sarkasme.
"Ya, kapan lagi? Kan sudah mendekati wisuda. Diploma sudah di depan mata," jawab Dina, sahabat Rini, nada suaranya mendatar, tanpa semangat.
Mereka berdua sedang duduk di bangku taman, memandang bangunan kampus yang megah, menyerupai istana dari jauhan. Namun, di balik kemegahan itu, tersembunyi kesedihan dan kekecewaan yang menyelimuti hati para mahasiswa.
"Diploma itu hanya sepotong kertas," lanjut Rini, suaranya mengalun sedih, "Tapi di balik kertas itu, tertanam mimpi dan harapan yang tak terwujud. Diploma menjadi beban, bukan penghasil kebahagiaan."
"Diploma mimpi, gelar luka," gumam Dina, nada suaranya menyertakan sedikit kepahitan.
"Aku bermimpi untuk mendapatkan pekerjaan yang baik setelah lulus," lanjut Rini, "Tapi kenyataannya, banyak perusahaan yang mencari pengalaman kerja, bukan hanya gelar akademis. Diploma mimpi menjadi beban yang berat untuk ku bawa."
"Aku pun begitu," jawab Dina, "Aku bermimpi untuk membantu keluarga dengan penghasilan yang baik. Tapi di luar sana, terbentang jurang kesulitan yang menghantui para sarjana pengangguran."
Mereka berdua menatap ke atas, menatap langit yang mulai berwarna senja, merangkum kekecewaan yang terpendam dalam hati mereka.
"Diploma yang kita perjuangkan dengan keras dan berkorban banyak waktu dan tenaga justru membawa luka yang mendalam," ujar Rini, suaranya mengalun sedih.
"Kuliah bukanlah jalan mudah untuk mencapai sukses," jawab Dina, "Tapi, kuliah juga bukan jalan buntu yang hanya membawa kekecewaan."