Mohon tunggu...
Satria Sambijantoro
Satria Sambijantoro Mohon Tunggu... -

economics student at University of Indonesia and contributor of The Jakarta Post newspaper. http://puterasatria.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

'Bule Itu Pergi ke Kolong Jembatan'

3 April 2013   21:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:46 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kak, sempat waktu itu ada bule dari Belanda datang kesini. Dia bilang dia tau aku dari koran yang dia baca, dan katanya dia sudah mencari-cari aku di hampir setiap kolong jembatan di daerah sekitar sini. Ketika akhirnya dia bertemu aku, dia senang sekali dan sampai minta foto bareng. Dia juga bilang mau membantu uang sekolah aku.”

Hari Minggu kemarin saya mengunjungi lagi kolong jembatan Tebet – Kampung Melayu, tempat yang pernah saya kunjungi sebagai bagian tugas live-in dari kantor saya, The Jakarta Post. Dulu saya pernah menulis tentang dua anak SD yang tinggal disana yang bernama Miftakhul Jannah (di foto atas kedua dari kanan, berbaju putih) dan Mona Lisa (paling kiri). Mereka adalah anak dengan latar belakang keluarga miskin tapi selalu mampu menjadi ranking 1 di sekolah mereka (artikel terlampir dibawah). Pikir saya, mumpung ini bulan Ramadhan, dan apalagi sebentar lagi Idul Fitri, pasti keluarga-keluarga ini akan sangat senang jika saya berkunjung ke keluarga mereka sekaligus memberikan bantuan kepada orang tua Mona dan Miftah untuk membelikan anak-anak mereka baju lebaran. Saya sangat terkejut ketika saya sedang mengobrol dengan keluarga yang tinggal di kolong jembatan itu, tiba-tiba Mona bercerita bahwa sempat banyak orang yang mencarinya beberapa hari setelah tulisan saya dimuat di koran. Saya sendiri belum sempat bercerita kepada Mona kalau tulisan itu dimuat. Pikir saya waktu itu “Ah pasti tidak ada yang baca ini,” mengingat tulisan saya itu hanya berupa tulisan kecil dipojok bawah halaman City di halaman 9. Lagipula, koran tempat saya bekerja sirkulasinya tidak terlalu besar – relatif lebih kecil dibandingkan koran besar seperti Kompas. Mona bercerita kepada saya bahwa ada seorang bule Belanda yang mencarinya mengaku sangat terkesan dengan prestasinya di sekolah. Menurut Mona, bule perempuan itu berkata dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata dan membawa sebuah koran Bahasa Inggris dan menunjukkan foto Mona di koran itu. Dia juga ikut mencari Miftah, serta orang tua mereka berdua, dan berjanji bahwa dia mau memberikan beasiswa dan membayari uang sekolah Mona dan Miftah, serta buku-buku sekolah mereka. “Tapi kan karena saya sekolah di negeri jadi sekolahnya gratis kan ya, trus buku-buku juga dipinjemin dari sekolah Kak. Jadi ya saya bilang aja ke dia [bantuannya] masih belum perlu,” kata Mona, yang juga menambahkan bahwa dirinya sempat menjadi “orang terkenal” di sekolahnya dan dipanggil oleh kepala sekolahnya karena artikel tersebut. Ketika saya berkunjung ke rumah Miftah di kolong jembatan yang sama, ternyata Miftah mengaku kepada saya bahwa, selain bule Belanda itu, juga ada dua orang lain yang sempat mencarinya dan Mona. Kedua orang tersebut – dua-duanya orang Indonesia – sampai sekarang masih sering berkunjung ke bawah kolong jembatan itu dan membantu orang tua mereka. “Bahkan minggu depan katanya mereka mau kesini lagi,” kata Miftah. Saya teringat sesuatu. Ketika saya pertama kali memutuskan untuk menjadi wartawan, saya banyak mendapatkan respon kurang menyenangkan dari orang-orang terdekat saya yang membuat saya cukup sedih. Saya ingat respon yang diberikan oleh salah satu teman saya ketika mengetahui profesi saya menjadi wartawan: “Tapi lo cuma jadi penulis di kantor kan Sat? Bukan wartawan yang lari-lari di lapangan dan ngejar-ngejar berita kayak di TV itu kan?” (bagi saya, komentar ini menunjukkan kesan bahwa wartawan, atau lazim disebut juga sebagai jurnalis, adalah profesi yang “hina”). Dulu, saya memutuskan untuk menjadi wartawan karena idealisme saya yang ingin berkontribusi kepada masyarakat --saya tidak ingin hanya sekedar bekerja untuk mencari uang. Singkatnya, saya ingin tulisan saya, baik itu tulisan tentang ekonomi, politik atau sosial, dapat berdampak bagi masyarakat luas. Saya ingin ketika orang membaca tulisan ekonomi saya, maka dia akan menyadari bahwa Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi yang sekarang lebih tinggi dari India dan hanya sedikit dibawah China, memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Saya ingin ketika saya menulis tentang politik, tulisan tersebut dapat memberikan referensi yang objektif bagi seseorang ketika mereka memilih di Pemilu atau Pemilukada. Begitu juga ketika saya menulis mengenai isu sosial tentang anak-anak seperti Mona dan Miftah yang tinggal di kolong jembatan: saya ingin agar masyarakat mengetahui bahwa di Jakarta, sebuah kota yang sebagian masyarakatnya bisa membeli sepatu Gucci seharga 8 juta rupiah tanpa berpikir panjang, masih ada kepala keluarga yang harus menghidupi istri dan anak-anaknya dengan tidak lebih dari 25 ribu rupiah sehari. Satu tahun setelah meninggalkan bangku perkuliahan, jujur ada perasaan bangga di diri saya mengetahui bahwa pekerjaan yang saya lakukan dapat memberikan dampak bagi masyarakat luas. Apalagi saya baru menyadari bahwa, terlepas dari status rendahnya di masyarakat, pekerjaan menjadi wartawan adalah sebuah profesi yang sangat penting: mereka memberitakan hal-hal yang ironisnya terjadi di sekitar kita tetapi tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Dan, yang paling penting, bagi saya tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan dari mengetahui bahwa tulisan saya dapat menyentuh hati dan menggerakkan beberapa masyarakat kaum kelas menengah keatas Jakarta untuk mendatangi sebuah kolong jembatan yang kotor dan pengap hanya untuk bertemu dengan Mona dan Miftah. “Kak, ketika bule itu menunjukkan korannya memang ada foto saya. Tapi kan saya gak ngerti karena artikelnya Bahasa Inggris,” Mona berkata kepada saya Duduk di ruangan 3x5 meter yang beralaskan dan berdindingkan triplek, saya menyalakan handphone saya untuk mencari link artikel tersebut di internet, kemudian menerjemahkan dan membacakan artikel itu pelan-pelan kepadanya dalam Bahasa Indonesia. Mona, Miftah, dan 4 anak lainnya duduk melingkari saya, beberapa tidur-tiduran, tapi semuanya mendengarkan saya dengan seksama ketika saya "menceritakan kembali" artikel tersebut. Sambil bercerita didepan muka-muka antusias dari anak-anak kolong jembatan tersebut, ada perasaan lega di dalam hati saya karena, satu tahun setelah saya memutuskan untuk meninggalkan zona nyaman saya untuk menjadi wartawan, saya menyadari bahwa tampaknya saya telah memilih jalan yang benar. ------------------------------------------------------------------ Are you smarter than a homeless fifth-grader? The Jakarta Post, Saturday, February 25 2012 Unseemly side of life. Mona Lisa (right), a fifth-grade elementary student whose father works as a scavenger in Jakarta, works on her science homework as her friend, Hartini, whose father is also a scavenger, looks on. The two children have been living benath the Tebet—Kampung Melayu overpas since they were born. Although they could not afford their own desks and have nothing but a concrete ceiling sheltering them from Jakarta’s unpredictable weather, homeless children living beneath the Tebet — Kampung Melayu overpass are gifted with rare academic brilliance. Miftakhul Jannah, a fifth-grader at Bidara Cina 04 elementary school, has been living below the Tebet — Kampung Melayu overpass since she was born. Around 100 homeless people — who mostly make a living by collecting trash and plastic waste — live right below the overpass, which is always congested with cars and motorcycles during Jakarta’s peak traffic hours. Miftah’s father, a homeless trash collector who makes as little as Rp 20,000 (US$ 2.2) a day, also faces a life full of uncertainty, as Jakarta public order agency officers (Satpol PP) shut down the settlement under the underpass and evict the family from their makeshift home at any time. Nevertheless, despite all of Miftah’s limitations, she thrives in her school — a tuition-free public school in which all children from a variety of family backgrounds can compete. “You always rank first [in the class] all the time! Give me chance to be in that ranking too!” Arsyid, one of Miftah’s more financially secure classmates, joked on Wednesday. Surprisingly, in the community of homeless children living under the Bukit Duri — Kampung Melayu overpass, Miftah was not the only child possessing such huge intellectual capacity. Mona Lisa, a 10-year-old girl enrolled in the same school and same grade as Miftah, also tops her class all the time. The only “defeat” she suffered out of 10 semesters of study at her elementary school was when she was ranked second during her first year of study, Mona said. “My favorite subject in class is science, sometimes I like Bahasa Indonesia too,” she said, showing off her Indonesian workbook, which was full assignments given top scores by her teachers. “I want to become a professor,” added Mona, who is referred to as mbak (Javanese honorific for elder sister) by other children in the area, due to her mature personality and soft-spoken manner. Although both of Mona’s parents are only elementary school graduates, intellectual genes apparently run in Mona’s family as her older brother Asep Sofjan is also recognized in his school as a student who regularly ranks first in class. Kamil Haryanto, Mona’s father who works both as a trash collector and a voluntary public bus cleaner, told The Jakarta Post that he felt immensely grateful to have offspring who possessed such huge intellectual capacities. “Nevertheless, I sometimes struggle to meet their schools’ needs,” Kamil said, referring to the fact that he had to give his children Rp. 2,000 — Rp 5,000 every day for their pocket money at school. Fortunately, the family did not have to bear the cost of books and worksheets, as the school lend them to the students, Kamil added. Impressively, the feat of these children, who manage to outclass their classmates, was achieved without proper studying facilities. For a trash collector’s daughter like Mona, there is no space for her own desk or bookshelf in their “home”, a modest 3-by-5 meter compartment built from plywood and cardboard boxes directly below the concrete overpass. Every morning before they go to school, Miftah, Mona and other elementary school girls living beneath the overpass circle around a big, old-fashioned table there to study and discuss their homework together. Mona said that she was happy with her life beneath the underpass, citing the fact that she could make many friends with other trash collectors’ daughters who live in the same place. “This is a home for us all,” Mona said on Wednesday. “Besides, I like here because it’s warm. Houses [located in residential areas] must be hotter,” the 10-year-old girl added, referring to houses in the nearby residential area of Tebet, South Jakarta. (sat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun