Paus Fransiskus menggunakan istilah "hamba dari segala hamba" untuk menggambarkan posisinya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Istilah ini merujuk pada jabatan atau posisi atau peran yang sangat rendah. Ia menyebut diri sebagai "hamba dari segala hamba" untuk menekankan sifat pelayanan dan kerendahan hati dalam kepemimpinan gereja. Penggunaan istilah ini mencerminkan pandangannya bahwa tugas utamanya adalah melayani umat, memberikan contoh kerendahan hati, dan membantu mereka yang membutuhkan. Ini adalah bagian dari upayanya untuk memperbarui dan menyegarkan Gereja Katolik dengan menekankan nilai-nilai kesederhanaan dan pelayanan.
Istilah ini sebenarnya menyoroti kedudukannya sebagai seorang pemimpin. Meskipun ia adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan memiliki otoritas yang besar, ia tetap berkomitmen untuk melayani Gereja dengan penuh kerendahan hati dan kasih. Â Konsep ini diambil dari ajaran Yesus Kristus, yang mengatakan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang melayani orang lain dengan sepenuh hati (bdk. Lukas 22:27).
Salah satu bentuk konkrit dari kepemimpinannya untuk melayani dengan penuh kerendahan hati dan kasih adalah teraktualisasi pada saat ia melakukan kunjungan apostolik ke Indonesia dalam waktu dekat ini. Dalam kunjungannya ini, ia membawa pesan perdamaian global, peningkatan kerukunan antarumat beragama dan menekankan pentingnya menjaga bumi. Secara keseluruhan, kunjungan ini tidak hanya dikhususkan bagi umat Katolik di Indonesia. Tetapi merupakan kunjungan universal bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memperkuat nilai-nilai perdamaian, toleransi dan kepedulian terhadap lingkungan hidup di tengah masyarakat yang beragam agama dan budaya.
Berbicara mengenai kepemimpinan Paus Fransiskus, penulis ingin mengaitkan dan membandingkan hal ini dengan apa yang terjadi di dunia politik di negara Indonesia saat ini. Di dunia politik Indonesia saat ini, ternyata ada semacam ketidakcocokan. Saat ini, orang-orang di negara ini justru berebut meminta agar mereka diberi kuasa untuk berkuasa. Mereka siap mengorbankan dan melakukan apa saja demi mendapatkan wewenang untuk berkuasa. Sebab, dalam pikiran mereka, dengan memiliki wewenang berkuasa, maka mereka bisa melakukan apa saja, entah baik ataupun jahat. Hal semacam ini senada dengan kisah pengutusan Yesus kepada 70 murid (bdk. Lukas 10:17-24).
Hampir setiap hari masyarakat sering memprotes atau menuntut pihak penguasa di negara ini. Mereka menuntut agar pihak penguasa memberikan keadilan, persamaan hak, dan memberikan perlakuan yang sama terhadap rakyat. Mereka menuntut agar para penguasa menggunakan kuasanya itu dengan sebaik mungkin. Mengapa rakyat berbuat seperti itu? Adakah hal-hal yang kurang beres dalam diri para penguasa? Jawabannya, tentu ada. rakyat berbuat seperti itu karena mereka kecewa terhadap kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh para penguasa karena kekuasaan yang mereka percayakan tidak digunakan sesuai dengan apa yang diharapkan. Kekuasaan itu tidak dipakai untuk membangun, melayani dan menyejahterakan orang banyak. Melainkan, digunakan untuk menyejahterakan diri sendiri, keluarga dan kerabat dekat.
Penggunaan kekuasaan semacam ini tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Termasuk tidak sesuai dengan harapan Tuhan Yesus. Yesus sendiri, meskipun memiliki kuasa Ia tidak menggunakan kuasa itu untuk menindas orang, malah sebaliknya kuasa yang diberikan oleh Bapa-Nya, Ia gunakan untuk melayani orang-orang lemah yang membutuhkan kuasa-Nya. Sikap ini pula yang diteladani oleh Paus Fransiskus. Semoga sikapnya sebagai "hamba dari segala hamba" yang ia teladani dari sosok Tuhan Yesus sungguh dapat menginspirasi kita semua, termasuk juga para pemimpin lainnya. Agar dengan demikian, kita semua sungguh menjadi pribadi yang mampu menjadi pemimpin yang siap melayani dengan rendah hati dan penuh kasih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H