PANGGILAN TUHAN NGERI-NGERI SEDAP
Panggilan Tuhan itu ngeri-ngeri sedap, menarik dan sekaligus menakutkan. Ketika mau menjawab 'ya', tapi kita masih takut atas pilihan bebas itu. Takut meninggalkan yang sedap-sedap. Itulah panggilan: misteri, unik dan sekaligus menyeramkan.
Panggilan Tuhan itu memang sebuah misteri. Inilah yang kualami. Dulu, saat aku minta izin untuk masuk seminari, orangtuaku berkata, "Jangan, kamu anak laki-laki satu-satunya. Tidak ada penerus keturunan." Tapi aku tidak peduli. Aku ngotot. Aku mengatakan kepada mereka bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan atas jalan hidupku. Karena aku terus memaksa untuk masuk seminari, akhirnya mereka mengikhlaskanku dengan sebuah pesan, "Ikuti kata hatimu."
Aku  memulai kisah perjalanan panggilanku di Kelas Persiapan Atas (KPA), Seminari Menengah St. Yoseph Tarakan pada 2021 silam. Aku melamar untuk menjadi calon imam Diosesan Keuskupan Tanjung Selor, dan menempuh pendidikan selama kurang lebih satu tahun. Aku tertarik melamar menjadi calon imam diosesan karena aku termotivasi dengan melihat jumlah tenaga imam di keuskupanku yang sangat sedikit, sementara daerah pelayanan sangat luas dan jumlah umat yang sangat banyak. Selain itu, karena suku asli (Dayak) yang menjadi imam hanya hitungan jari saja.
Selama berada di seminari untuk mengikuti dinamika formasi, panggilanku timbul-tenggelam. Banyak penyebabnya, salah satunya faktor keluarga. Akan tetapi, godaan-godaan, tantangan dan hambatan itu dapat kulalui dengan baik, dan tentu saja itu bukan karena kehebatanku, tetapi Dia yang memanggilku. Meskipun kehidupan di seminari penuh dengan aturan dan sistem kehidupannya yang sangat disiplin ketat, tapi aku merasa nyaman. Aku menikmati itu semua, hingga saat ini.
Saat ini, aku masih berada di jalan yang sama. Namun ada sedikit perbedaan dari perjalanan awal masuk dan perjalanan saat ini. Sekarang jalan yang kulalui ini semakin menanjak, semakin banyak batu-batu tajam yang harus kulalui. Kendati demikian, bukan berarti aneka tantangan dan hambatan itu menjadi penghalang bagiku. Justru sebaliknya, hal itu menjadi motivasi bagiku untuk terus melangkah. Aku percaya bahwa semakin banyak godaan, tantangan dan hambatan, itu berarti Tuhan semakin mencintai dan mengasihiku.
Prinsip yang kupegang saat ini adalah prinsip pantang mundur. Aku memaknai godaan, tantangan dan hambatan sebagai pemantik bara api semangatku ketika suatu waktu bara api semangat itu mulai padam. Dengan demikian, aku akan tetap semangat untuk terus menapaki jalan pangggilan suci ini. Aku percaya bahwa tidak ada hidup tanpa tantangan. Tantangan pasti ada dalam setiap kehidupan manusia dan itu menjadi badai dalam suatu kehidupan. Aku percaya bahwa badai-badai itu akan pasti berlalu; intinya aku harus tetap tegar berdiri, maju terus dan tetap setia pada-Nya. Aku yakin bahwa Tuhan tidak akan menuntut banyak dariku. Namun, yang Dia harapkan dariku adalah kesetiaan dan tanggung jawab dalam mengikuti-Nya di jalan panggilan ini.
Bagiku, menjadi apa itu tidak penting, tetapi menjadi kuduslah yang penting. Saat ini kuserahkan diriku secara total kepada bimbingan Tuhan yang telah memanggilku, agar aku tidak tersandung pada batu-batu yang menghalangi perjalananku. Kubiarkan diriku seperti pensil di tangan-Nya sendiri yang menggerakan untuk menuliskan goresan-goresan indah pada setiap kisah cerita perjalanan hidup panggilanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H