Penghadangan truk sampah DKI Jakarta oleh sejumlah warga Cileungsi telah mereda (Okezone.com, 05-11-2015). Akan tetapi, di masa akan datang mungkin muncul kembali karena semakin menumpuknya sampah yang menggangu masyarakat sekitar. Bayangkan saja, sampah yang dibuang di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bandar Gebang adalah 6000 ton per hari (Kompas cetak, 26-02-2015). Itulah berat sampah yang dihasilkan oleh warga ibukota Jakarta. Sampah masih dikelola secara konvensional.
 Sampah diangkut, ditumpuk, dipisahkan, batu diolah (sebagian). Jelas, akan menimbulkan masalah klasik di sekitar TPST yaitu bau menyengat yang meningkat. Lain hal, di negara maju memilah sampah ketika mobil sampah berjalan. Alokasi dana yang besar (1,3 triliun rupiah) bisa dianbil berapa persen untuk membeli mobil sampah modern atau mengembangkan box mobil pengolah sampah modern.
Melalui mobil sampah modern, sampah diangkut sambik dipilah ketika mobil berjalan sehingga turun dari mobil bisa langsung ditempatkan sesuai kategorinya. Logam, plastik, sampah organik, cairan. Logam dan plastik dapat ditumpuk dan dipadatkan (dipres), sedangkan sampah organik dapat diolah menjadi pupuk kompos atau diolah menjadi biogas & bioetanol/biodiesel.Â
Logam yang telah ditekan volumenya diberikan ke peleburan logam sehingga dapat didaur ulang dan terpakai lagi. Untuk plastik yang telah dipadatkan, bisa dilakukan peleburan ulang plastik menjadi bijih plastik untuk dipakai lagi. Bisa pula, dipakai untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS).
Kota Surabaya sudah memulai dahulu penggunaan sampah sebagai pembangkit listrik. Di Rumah Kompos Bratang Surabaya, pembangkit listrik gasifikasi sampah kering dioperasikan menghasilkan listrik 4000 watt untuk menerangi taman Suarabaya. Ini adalah teladan yang patut ditiru. Salah langkah aman adalah gasifikasi, bisa juga pirolisis (pembakaran tanpa oksigen) untuk menghasilkan listrik.
Untuk sekelas ibukota Jakarta, sepatutnya memiliki PLTS besar karena memiliki sumber bahan bakar (sampah) yang besar. Bila sudah berjalan, PLTS tersebut dapat mengurangi ketergantungan listrik pada PLN sehingga beban listrik pemerintah dapat berkurang.
Untuk sampah organik basah, dapat dibuat menjadi pupuk organik (contoh kompos, pupuk cair, dst), biogas, dan biodiesel/bioetanol. Produksi pupuk cair dari sampah diproses oleh bakteri, bisa diperoleh dari bongkol pisang yang dicacah. Sampah-sampah buah, sayur, dan makanan dicacah bersama bongkol pisang diberi air cucian beras lalu dibiarkan selama seminggu.Â
Pupuk organik cair ini biasa disebut dengan Mikro Organisme Lokal (MOL). Selain sebagai pupuk, MOL juga bisa dipakai sebagai pembersih toilet, campuran makanan ternak, dst. Sampah yang mengandung gula dapat dikonversikan menjadi etanol dengan bantuan ragi atau bakteri fermentasi. Biogas dan biodiesel dapat pula diproduksi dari sampah melalui bantuan mikro organisme yang spesifik.Â
Produksi biogas, bioetanol & biodiesel dapat diperjual-belikan atau sebagai tambahan bahan bakar kendaraan pemerintah sehingga lebih menghemat biaya bahan bakar. Pembangunan daerah khusus pengelolaan sampah modern perlu segera dilakukan agar manfaat-manfaat di atas dapat dicapai.
Dana investasi yang dibutuhkan pastinya besar untuk melakukan itu semua. Akan tetapi, seiring waktu berjalan 5-10 tahun, pemerintah Jakarta akan lebih menghemat anggaran pengelolaan sampah dan mendapatkan manfaat lebih dari PLTS, kompos, pupuk cair, biogas, bioetanol, dan biodiesel yang dihasilkan oleh sampah Jakarta. Warga ibukota juga akan merasakan kenyamanan dan kepuasan karena sampah telah diolah baik dan manfaat. Jadi, sampah berlebih bukanlah kemalangan, tapi berkah untuk lebih untung dan maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H