Mohon tunggu...
Satria Putra Dwi Pamungkas
Satria Putra Dwi Pamungkas Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora ,Prodi Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harmonisasi Keluarga Bahagia

27 Desember 2012   03:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:58 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyaknya kasus perceraian yang terpampangdi media massa adalah salah satu bukti adanya komunikasi yang kurang tepat dalam sebuah hubungan. Mulai dari rakyat jelata hingga kaum bangsawan kaya raya, penyakit cerai ini sudah mewabah rata kepada semua lapisan masyarakat.Tidak heran yang menjadi korban adalah anak, sehingga menjadikan anak berlabel “Broken Home”. Lalu, bagaimana kita menjadi Negara yang maju jika penerus bangsa yaitu pemudanya saja mempunyai mental yang tidak sehat akibat perceraian orangtuanya?

Untuk merubah suatu bangsa, perlulah dari diri sendiri dahulu. Kemudian kita perbaiki aspek kehidupan yang lebih luas lagi yaitu, keluarga. Membangun keluarga yang sakinah memang tidak semudah membalikkan omlet pada wajan penggorengan. Namun, mempunyai keluarga yang harmonis adalah idaman dan kebutuhan jiwa yang begitu berharga sebagai pengobat nestapa. Begitu banyaknya segudang alasan yang menghiasi dalih perceraian yang diajukan oleh si penggungat. Dari alasan yang klasik, sudah tidak sejalan lagi, beda visi misi, tidak bisa menafkahi, perselingkuhan, masalah pemenuhan seksual, hingga KDRT. Saya yakin, dari semua alasan tersebut pastilah karena faktor komunikasi interpersonal yang kurang tepat. Maka dari itu berikut ini ada beberapa tips agar rumah tangga menjadi harmonis :

1.Anti Introgasi.

Jadilah pasangan yang bersyukurketika menyambutsuami atau istri dari pulang bekerja atau bepergian. Kebanyakan realita yang terjadi, seorang istri selalu mengintrogasi suaminya sepulang dari mana saja. “Mas, dari mana? Sama siapa? Ngapain aja?” dan blablablabla… sehingga dari situlah percekcokkan biasa terjadi. Pertanyaan istri yang seperti kereta api berbunyi tutututut membuat telinga suami gerah dan hatinya panas serasa dicurigai dan dihakimi oleh istrinya. Badan yang lelah karena seharian bekerja menjadi tambah rapuh karena omelan sang istri. Alangkah lebih indah jika sang istri berucap “Alhamdulillah, suamiku selamat sampai rumah.” Atau “Assalamu’alaykum, terimakasih ya suamiku yang hebat sudah pulang tepat waktu. “ Sambil mencium tangan, mendekap, dan tersenyum hangat pada suaminya. Bagaimana bisa terjadi percekcokan, jika sang suami pulang disuguhi oleh senyuman hangat nan manis dari sang istri pujaan hati.

2.Obati lelahnya.

Tidak dipungkiri bahwa bekerja seharian membuat badan pegal, kaki kesemutan, dan ingin bersandar. Bukan sekedar menuntut pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan ketika suami atau istri pulang. “ Ma.. cepetan masak!” atau “Pa.. Buruan benerin kran bak mandinya!” Tunggu dulu, sebentar. Ketika kita mau menuntut ini itu, penuhilah dulu kewajiban kita untuk mengobati lelahnya. Biarlah sejenak pasangan kita bernafas dari rutinitas pekerjaan yang terkadang masih terbawa bebannya hingga rumah. Kita bisa, menyediakan air hangat di baskom atau ember kecil untuk merendam dan mencuci kakinya sembari pasangan kita menyedu teh hangat manis buatan kita. Bukankah suasana seperti itu syahdu? Pasangan kita akan merasa dihormati dan benar-benar disayangi tak sekedar teori namun aksi. Atau memijati bahunya, menyediakan makan malam untuknya, dan mendengarkan ceritanya dalam serangkaian kegiatannya. Setelah dirasa cukup mengobati lelahnya, barulah kita menyuruhnya dengan lembut untuk memenuhi perannya dalam rumah tangga.

3.Dialog.

Seringnya kita mengeluh jika terjadi perbedaan atau sesuatu dari pasangan yang membuat kita tidak nyaman. Entah karena watak, karakter, keadaan insidental, ataupun emosi yang meluap-luap. Usahakan untuk berhenti mengeluh dan menjudgement pasangan menggantinya dengan berdialog. Ajak suami atau istri untuk bicara dari hati ke hati. Tanyai tentang apa yang dirasakan sekarang, mengapa bersikap demikian, dan ketika pasangan kita telah menyampaikan segenap isi hatinya, kita harus mendengarkan dengan seksama. Berilah empati terhadap apa yang ia rasakan, meski sebetulnya kita juga membutuhkan empati darinya namun sabar dulu. Jangan memaksakan keadaannya untuk instan mengerti kita. Justru dengan menjadi pendengar yang baik atas apa yang dicurahkan pasangan, kita akan merasa dihargai dan diterima secara positif tanpa syarat. Setelahnya, baru ketika keadaanya sudah mulai tenang, saatnya kita untuk mengungkapkan secara perlahan apa yang kita rasakan. Dengan seperti itu akan mudah penyelesaian masalah tanpa emosi dengan akal jernih dan dari hati ke hati sehingga bertemulah pada solusi yang tidak melukai.

Demikianlah tiga poin yang terpenting sebagai tindakan preventif dan kuratif untuk menjadikan keluarga bahagia yang harmonis. Selamat mencoba ! Semoga bahagia !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun