Tahun-tahun 90an, sepanjang ingatan saya, fenomena memakai jilbab membutuhkan suatu perjuangan yang menguras emosi. Entah dari reaksi dari orang tua, guru atau teman-teman. Begitu juga dengan urusan pas poto untuk mereka yang berjilbab yang sedemikian rumit harus terlihat telinga. Pun ketika saat itu teman-teman memutuskan berjilbab, tak mendapatkan kata-kata pujian berlebihan. Karena mereka benar berjuang untuk memakainya karena iman.
Tahun-tahun sekarang. Jilbab lebih familiar disebut hijab. Maknanya tetap sama. Perubahan selanjutnya adalah tambahan embel-embel belakangnya, yaitu syar. Yang tentu berpengaruh pada kesadaran diri dan industri hijab. Selayaknya branding bank konvensional atau syariah. Beda dengan jaman 90an, jaman now teman-teman yang baru mengenakan hijab, pasti mendapatkan pujian berlebihan bahwa dia telah mendapatkan "hidayah" dan "semoga tetap istiqomah". Hijab sudah masuk ke ranah yang lebih luas secara sosial, walau masih terpisah menjadi beberapa kelompok: mereka yang menggunakan hijab karena kesadaran agama; mereka yang menggenakan karena kewajiban sosial (sekolah dan keluarga); atau mereka yang memakai karena alasan fashion.
Jika dahulu orang kadang dicibir bila menggunakan ilbab, sekarang orang mencibir karena orang melepaskan hijab. Ini fenomena baru, perubahan pola pikir. Bahkan yang belum berhijab pun ikut mencibir. Pujian dan doa yang awal terucap pun tak bisa mengingatkan mereka yang mencibir bahwa Tuhan adalah pemilik hati sesungguhnya.
Apakah hijab menjadi tolok ukur kadar keimanan seseorang? Ini hanya bisa dijawab oleh teman-teman yang memakainya. Karena hijab adalah hak asasi.
Begitu juga Rina Hidung, eh Nose.
Tulisan ini terinspirasi oleh Teh Nose.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H