Mohon tunggu...
Satria Fattah
Satria Fattah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah Universitas Jember

Bekerdja Baik, Beladjar Baik, Bermoral Baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MARHAENIS MUHAMMADIYAH: IJTIHAD KAUM ABANGAN

8 April 2024   05:41 Diperbarui: 8 April 2024   15:33 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: risalah.id

Marhaenis Muhammadiyah, penggabungan dua kata "Marhaenisme" dan "Muhammadiyah" yang mungkin terdengar asing bagi masyarakat, bahkan kader Muhammadiyah sekalipun. Tidak heran ketika banyak masyarakat dan kader Muhammadiyah belum mengetahui istilah atau varian Muhammadiyah yang sebenarnya lebih dulu berkembang daripada KRISMUHA atau Kristen Muhammadiyah yang beberapa tahun lalu gencar menjadi pembahasan, karena memang banyak anggapan jika Muhammadiyah lebih berkembang di Kota sehingga dirasa mustahil memiliki basis massa di desa yang terkenal akan golongan akar rumputnya. Mudah sebenarnya menjelaskan tentang istilah atau varian ini, kita bisa mengkaitkannya dengan kepribadian K.H Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang sangat toleran yang dapat menerima semua golongan dan Ir. Soekarno, Presiden pertama sekaligus pencetus "Marhaenisme" yang juga merupakan kader Muhammadiyah, namun kedua tokoh besar tersebut saya rasa masih belum cukup menjelaskan kemunculan Marhenis Muhammadiyah dan bagaimana kaum Marhaen ini menyesuaikan tata cara ibadahnya dengan Muhammadiyah.

Kemunculan Marhenis Muhammadiyah ini tidak terlepas dari perkembangan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada kisaran tahun 1960-an. Ir. Soekarno pendiri partai yang juga sekaligus kader Muhammadiyah sebelumnya telah melahirkan sebuah istilah baru, yakni "Marhaenisme" sebuah konsep sosio-nasionalisme Indonesia yang banyak dituliskan oleh Ir. Soekarno dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi. Seiring berkembang pesatnya Partai Nasional Indonesia, Marhaenisme pada akhirnya juga dikenal secara luas. Mereka yang menganut Marhaenisme disebut Kaum Marhaen, umumnya berisikan masyarakat proletar yang didalamnya juga terdapat golongan petani. Golongan petani inilah yang secara tidak langsung melahirkan istilah Marhenis Muhammadiyah, khususnya pada sebuah kasus petani yang ada di Desa Wuluhan, Jember, Jawa Timur. Desa Wuluhan kala itu merupakan basis dari Partai Nasional Indonesia, selain itu wilayah Desa Wuluhan sebagian besar adalah persawahan jadi mayoritas masyarakat disana berprofesi sebagai petani yang selain menjadi golongan akar rumput dalam kancah perpolitikan Indonesia, juga menjadi golongan yang kental akan tradisi lokalnya.

Masyarakat Desa Wuluhan khususnya para petani sangat kental akan tradisi lokal, oleh karenanya mereka disebut kaum "Abangan". Saat itu kaum abangan Desa Wuluhan merupakan simpatisan dari Partai Nasional Indonesia, mereka jelas merasa sangat cocok dengan Marhaenisme ala Ir. Soekarno sebagai pegangan hidupnya, selain itu mereka tidak memiliki kecocokan dengan organisasi islam manapun karena terhalang oleh tradisi lokal yang mereka jaga. Muhammadiyah sendiri memiliki amal usaha di bidang pendidikan, dan memang lembaga pendidikan Muhammadiyah saat itu biasanya menjadi satu-satunya pilihan lembaga pendidikan yang ada di desa, salah satunya yang didirikan di Desa Wuluhan. Saat itu memang kondisi pendidikan Indonesia belum merata dan berkembang. Gerakan Muhammadiyah dikenal lebih terbuka dan sangat peduli akan nasib masyarakat proletar, sehingga hal itu membuat Muhammadiyah selalu melibatkan banyak kalangan dalam setiap kegiatannya dan dari sinilah Muhammadiyah mendapatkan banyak simpatisan dari berbagai macam golongan masyarakat.

Pendirian lembaga pendidikan Muhammadiyah di desa-desa selain bertujuan untuk mengembangkan amal usaha Muhammadiyah, juga untuk menyebarkan ajaran Islam yang dicita-citakan KH. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah seperti yang sudah saya sebut dengan gerakannya yang terbuka dan peduli akan nasib masyarakat proletar dalam hal ini menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan kaum abangan , hal tersebut juga didukung dengan kondisi lembaga pendidikan Muhammadiyah yang menjadi satu-satunya pilihan pendidikan di Desa Wuluhan pada saat itu. Kaum abangan menyekolahkan anak-anak nya di sekolah milik Muhammadiyah, secara tidak langsung mereka terlibat dalam gerakan Muhammadiyah khususnya dibidang pendidikan. Mereka juga pada akhirnya turut bergabung sebagai anggota atau simpatisan, walaupun Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah awalnya berbenturan dengan tradisi lokal kaum abangan yang masih menjadi bagian hidup mereka.

Kaum abangan yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah tentunya mengalami sebuah kebingungan, karena mereka tidak ingin meninggalkan tradisi lokalnya dan juga tidak ingin meninggalkan Muhammadiyah. Islam ala Muhammadiyah sangat anti dengan praktek TBC (takhayul, bid'ah, churofat) sesuai dengan tarjih Muhammadiyah, sementara tradisi lokal kaum abangan ini masih sangat lekat dengan praktek TBC tersebut. Fenomena ini tentu menjadi sebuah perdebatan dikalangan beberapa kader Muhammadiyah yang sangat anti dengan praktek TBC. Tanpa disadari perdebatan yang terjadi membuat para kader lupa bahwasannya ketika sebuah gerakan menyebar ditempat yang baru seperti contoh gerakan Islam ala Muhammadiyah yang menyebar ke desa, tentunya akan mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian. Perubahan dan penyesuaian ini menurut Mulkhan (2010: 12) terdapat dua hal yakni rasionalisasi ritual magis dan juga sufitisasi ritual ala Islam murni, selain itu hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk domestikasi dan mistifikasi berupa kesalehan kliental.

Tradisi lokal dan gerakan Islam ala Muhammadiyah berjalan seiringan dalam kehidupan bermasyarakat walaupun keduanya berbenturan, hal inilah yang akhirnya melahirkan sebuah ijtihad ala kaum abangan. Ijtihad sendiri menurut Ensklopedi Islam (1994: 183) merupakan sebuah usaha untuk mengetahui hukum keislaman dengan syarat tertentu yang terkandung dalam Al-Qur'an melalui proses pertimbangan yang matang, jadi ijtihad kaum abangan ini adalah usaha mereka dalam memahami gerakan Islam ala Muhammadiyah. Kaum abangan yang terdiri dari masyarakat proletar khususnya petani sangat berusaha agar tradisi lokal yang menjadi bagian hidup mereka tidak berbenturan dengan ajaran Islam yang mereka dapatkan dari Muhammadiyah. Pada akhirnya ijtihad kaum abangan yang dilakukan menghasilkan sebuah keputusan untuk tidak menghilangkan tradisi lokal tapi juga tetap berada dalam gerakan Muhammadiyah. Ijtihad kaum abangan juga memunculkan anggapan bahwa tradisi lokal adalah sebuah seni hidup, bukan sebuah tradisi yang didasari keyakinan doktrinal dan kental akan praktek TBC. Ijtihad kaum abangan inilah yang pada akhirnya melahirkan sebuah varian Muhammadiyah baru yaitu Marhaenis Muhammadiyah.

Marhaenis Muhammadiyah adalah salah satu contoh keberhasilan Muhammadiyah dalam mengembangkan gerakan Islam sesuai dengan kondisi sosial-budaya dan politik masyarakat. Ijtihad kaum abangan yang diterima juga menjadi bukti bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi Islam selalu terbuka terhadap segala pemikiran yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat walaupun mungkin banyak perdebatan yang terjadi dikalangan kader Muhammadiyah itu sendiri, namun organisasi Islam ini melalui sebuah fenomena Marhenis Muhammadiyah mulai memperluas jaringan keanggotaannya dan melonggarkan persyaratan formal pengkaderan. Kini masyarakat dan kader Muhammadiyah sudah cukup mengetahui tentang Marhaenis Muhammadiyah. Hal ini bukan untuk diperdebatkan dan dibandingkan benar salahnya dengan varian Muhammadiyah lain, karena menurut Kuntowijoyo terdapat empat varian anggota atau kader Muhammadiyah yakni kelompok KH. Ahmad Dahlan, Al-Ikhlas, neo-tradisionalis, dan yang terakhir neo-sinkretis dimana Marhaenis Muhammadiyah masuk dalam kelompok ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun