Sepanjang 2024, isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% menjadi salah satu topik perdebatan ekonomi yang panas di Indonesia. Kebijakan ini, meskipun didasarkan pada amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mendapat berbagai respon dari masyarakat, terutama terkait potensi dampaknya terhadap daya beli dan kesejahteraan ekonomi. Dalam konteks ini, kita dapat menggunakan Teori Dominasi Sosial (Social Dominance Theory) untuk menganalisis bagaimana kebijakan tersebut mencerminkan dan memperkuat hierarki sosial yang ada.
Teori Dominasi Sosial dan Hierarki Sosial
Teori Dominasi Sosial berargumen bahwa masyarakat cenderung membangun dan mempertahankan hierarki sosial melalui berbagai cara, termasuk kebijakan publik. Dalam hierarki ini, kelompok dominan biasanya mendapatkan keuntungan yang tidak proporsional dibandingkan dengan kelompok subordinat. Penerapan kenaikan tarif PPN dapat dianggap sebagai salah satu alat kebijakan yang, secara tidak langsung, memperkuat hierarki tersebut.
Kenaikan tarif PPN pada dasarnya adalah kebijakan yang bersifat regresif, karena pajak konsumsi sering kali lebih membebani kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa barang dan jasa kebutuhan pokok dibebaskan dari PPN, banyak barang dan jasa yang menjadi kebutuhan sehari-hari tetap dikenakan tarif 12%. Hal ini, secara tidak langsung, dapat memperlebar kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat yang mampu menanggung kenaikan harga dengan mereka yang tidak.
Ketimpangan dalam Distribusi Beban Pajak
Berdasarkan data, konsumsi rumah tangga tetap menjadi kontributor utama bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dengan distribusi sebesar 53,08% pada Kuartal III/2024. Namun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung stagnan sepanjang 2024, di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan daya beli masyarakat yang menurun---terbukti dari deflasi selama lima bulan berturut-turut pada 2024---kenaikan tarif PPN dapat memperburuk situasi ini.
Dari sudut pandang Teori Dominasi Sosial, kebijakan ini berisiko memperkuat stratifikasi sosial. Kelompok elit ekonomi---yang cenderung memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dan subsidi pemerintah---akan lebih mudah menavigasi dampak kebijakan ini dibandingkan dengan kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Meskipun pemerintah menjanjikan berbagai program insentif seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan subsidi lainnya, efektivitas program ini sering kali tidak merata.
Peran Kebijakan dalam Membentuk Struktur Sosial
Perdebatan mengenai kenaikan PPN juga mencerminkan dinamika kekuasaan antara aktor-aktor dominan dalam pengambilan kebijakan. Pemerintah, dalam hal ini, berada di persimpangan antara melanjutkan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak atau menunda untuk menjaga daya beli masyarakat. Menariknya, keputusan akhir untuk menaikkan PPN menjadi 12% dengan pengecualian tertentu justru memperlihatkan kompromi yang masih memberikan keuntungan lebih besar kepada kelompok masyarakat atas.
Penerapan kebijakan yang lebih selektif, seperti hanya mengenakan tarif PPN 12% pada barang dan jasa mewah, pada dasarnya mencerminkan upaya untuk mengurangi resistensi publik sekaligus tetap memenuhi amanat UU HPP. Namun, kebijakan ini juga bisa diinterpretasikan sebagai cara untuk mempertahankan status quo hierarki sosial, di mana beban utama tetap berada pada kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Melalui lensa Teori Dominasi Sosial, kenaikan tarif PPN menjadi 12% dapat dipahami sebagai kebijakan yang memiliki potensi untuk memperkuat hierarki sosial yang ada. Kebijakan ini, meskipun berusaha mengimbangi beban melalui insentif fiskal, tetap menghadirkan risiko ketimpangan yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan ini tidak hanya fokus pada peningkatan penerimaan pajak, tetapi juga pada perlindungan kelompok masyarakat yang paling rentan. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi insentif perlu ditingkatkan agar kebijakan tersebut tidak menjadi alat untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu.