Ujian Nasional atau disingkat UN merupakan ‘tradisi’ dari budaya pendidikan Indonesia yang telah mendarah daging, walaupun dari tahun ke tahun terjadi perubahan labeling seiring dengan pergantian menteri yang bersifat politis dan pergantian kurikulum yang bersifat retorik belaka. Sebab faktanya bergantinya menteri dan kurikulum tak lantas merubah ‘derajat’ pendidikan Indonesia. Semuanya hanya bersifat seremonial saja, karena pergantian eksekutor tak dibarengi dengan revolusi regulasi yang lebih kompetitif, tak pula dibarengi dengan eskalasi sistem yang renponsif terhadap problematika pendidikan Indonesia.
Kembali kepada Ujian Nasional di Indonesia, terlepas dari carut marutnya sistem pendidikan dalam level grassroot, saat ini UN tengah menjadi sorotan banyak pihak, tak ayal pelbagai persiapan dan cara pun dilakukan dan disiasati, mulai dari cara yang paling halal sampai dengan cara yang paling haram, cara yang paling untung dan cara yang paling buntung. Karena kelulusan UN sampai saat ini masih dianggap satu-satunya jalan mencapai keberhasilan belajar seseorang. Dan jalan lain hanyalah jalan pelengkap saja dalam mencapai kesuksesan hidup manusia.
Suksesi UN tersebut melibatkan siswa, orang tua, dan sekolah. Siswa merupakan subjek yang memiliki peran sentral dalam UN tersebut, keberadaan sekolah dan harapan orang tua tidak akan berhasil kalau siswa tidak mau mengikuti ujian. Orang tua yang memiliki harapan anaknya agar lulus ujian, tidak akan tercapai manakala anaknya tidak menjadi siswa sebuah sekolah atau lembaga pendidikan. Yang paling mungkin ‘dianulir’ adalah keberadaan sekolah yang manginginkan siswanya 100% lulus bisa tetap mengadakan Ujian Nasional, jika ia mampu mensubsidi siswa yang orang tuanya tidak mampu membayar Ujian Nasional.
Setelah urusan pembiayaan selasai, barulah kemudian ditentukan langkah-langkah yang dilakukan baik oleh siswa, orang tua, dan sekolah. Siswa mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan belajar ‘lebih rajin’ agar dapat lulus Ujian Nasional. Orang tua di rumah berusaha keras mendorong anaknya belajar dengan tekun, tak jarang diming-imingi dengan hadiah-hadiah yang menggiurkan. Dan sekolah dengan guru sebagai eksekutor di lapangan tentu saja berusaha memberikan ‘service excellent’ kepada siswanya, di antaranya dengan ‘strategi jitu lulus ujian’ berupa tambahan jam belajar (biasa disebut les atau pengayaan), meskipun kemudian diketahui ada variabel cost yang dirogoh dari kocek orang tua untuk jam tambahan tersebut.
Namun, yang paling menarik dari fenomena Ujian Nasional tersebut dan sering terlupakan dari kesuksesan Ujian Nasional atau keberhasilan belajar seseorang adalah tentor-tentor yang sudah sekian lama menjadi alternatif orang tua dalam proses pendidikan anak-anaknya, fenomena ini telah lama terjadi terutama di perkotaan yang mobilitas kerja manusianya tergolong tinggi, sehingga orang tua kurang bisa memberikan waktu yang cukup dalam pendampingan belajar anak-anaknya.
Diakui atau tidak, disadari atau tidak, fakta di lapangan menunjukkan bahwa orang tua lebih percaya kepada tentor-tentor tersebut dalam proses pendampingan belajar anak-anaknya, baik tentor yang berafiliasi pada sebuah lembaga belajar (bimbel) tertentu, atau tentor-tentor yang dipanggil khusus oleh orang tua karena adanya kedekatan (proximity) antar keduanya. Realitas ini penulis alami selama kurang lebih tiga tahun penulis menjadi tentor untuk beberapa anak yang akan menghadapi Nasional dimana dalam waktu yang bersamaan, penulis juga menjadi pengajar di beberapa sekolah/madrasah.
Ditelisik melalui perspektif profesionlisme guru (karena tentor dan guru pada hakikatnya memiliki fungsi yang sama dalam proses pembelajaran). Dapatlah ditemukan beberapa jawaban mengenai fenomena ‘tentorku malaikatku’ tersebut. Perbandingan—untuk tidak menyebut perbedaan—model pembelajaran antara kedua pengajar tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, pembelajaran guru di sekolah cenderung bersifat umum, artinya pembelajaran terfokus pada semua siswa, sehingga siswa yang memiliki keterbatasan kemampuan menyerap informasinya (intelegensi) sulit untuk dapat mengikuti pembelajaran dengan maksimal. Sedangkan pembelajaran tentor lebih cenderung bersifat spesifik, sehingga siswa yang memiliki keterbatasan tersebut di atas dapat langsung melakukan feed back kepada tentor baik berupa pertanyaan atau penjelasan ulang mengenai materi (subject matter) yang tengah dibahas.
Kedua, waktu yang diberikan oleh sekolah sangatlah terbatas, tidak sesuai dengan banyaknya materi yang dibahas, meskipun adanya tambahan jam belajar yang dilakukan pasca pembelajaran normal selesai. Hal ini bisa dimaklumi, karena waktu belajar di sekolah terbatas. Sebaliknya, tentor memiliki waktu yang cukup luas untuk melakukan bimbingan belajar terhadap siswanya. Ia bisa datang kapan saja, dan bertemu dengan siswanya dimana saja, dan kapan pun mereka mau. Karena memang kontrak belajar (learning contract) lebih fleksibel, sehingga intensitas pertemuan dapat diatur sesuai kesepakatan.
Ketiga, guru terutama yang berstatus PNS, rata-rata sudah berusia di atas tiga puluh tahun dan biasanya berkeluarga, sehingga mereka sudah merasa ‘nyaman’ dengan apa yang dianugerahkan Tuhan pada mereka, tak perlu harus bersusah payah mendesain pembelajaran, berinovasi, dan berkreasi dalam menciptakan classroom management yang tepat dan akurat sesuai dengan ciri, bakat, dan karakteristik siswa. Sedangkan sebagian besar tentor adalah mereka yang masih berstatus mahasiswa atau keluarga muda yang masih mencari ‘identitas diri’ dengan berusaha mencurahkan tenaga dan pikirannya agar bisa bertahan hidup (survive). Sehingga mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan inovasi, kreasi, dan desain pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswanya. Meskipun tak jarang kadang tentor juga merupakan guru di sebuah lembaga pendidikan formal (sekolah) atau pun sebaliknya.
Jika memang demikian faktanya, lalu dimanakah letak relevansi antara program sertifikasi dengan profesionalisme guru. Padahal pemerintah melalui APBN telah merogoh kocek yang lumayan besar untuk pembiayaan program tersebut. Yang jika dipergunakan untuk membeli kerupuk saja mungkin bisa untuk membuat pulau baru yang kemudian kita namakan pulau kerupuk. Atau jika dana tersebut digunakan untuk menyekolahkan (baca; kuliah) putera-puteri terbaik bangsa, maka bisa meluluskan beratus atau beribu manusia cerdas dan berkualitas yang kelak dapat menjadi garda depan dalam akselerasi pendidikan Indonesia.
Oleh karena itu, dalam mengahadapi Ujian Nasional tahun ini dan seterusnya, sudah saatnya para guru di sekolah ‘berkaca’ pada tentor dalam memberikan layanan terbaik kepada siswanya dan telah turut serta dalam mencerdaskan bangsa. Selanjutnya perlu diingat bahwa setidaknya ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yakni kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Terlebih para guru yang sudah tersertifikasi dan yang tengah mengajukan sertifikasi.