Dua kata yang masing-masing disandingkan dengan kata Guru dan Murid, mungkin bukanlah padanan kata yang tepat dari sisi sosiologis, dimana Guru dan murid selalu diidentikan dengan kondisi sosial yang cerdas, hormat, dan berwibawa serta beberapa idiom positif yang berbau surga. Sedangkan kata Lebay dan Alay lebih cenderung kontraproduktif, berlebihan, dan urakan, dan tak sedikit yang mempersandingkannya dengan idiom negatif berbau neraka. Namun di situlah letak keunikan dari keduanya, bila disandingkan laiknya pengantin baru.
Lebay selalu dikaitkan dengan sesuatu yang berlebihan baik berupa sikap maupun ucapan, tanpa peduli dari dampak (impact) yang ditimbulkan dari perilakunya tersebut. Sedangkan Alay merujuk padastereotipe yang menggambarkan gaya hidup norak, kampungan, dan selalu berusaha menarik perhatian orang di sekelilingnya. Kedua kata tersebut selalu dikait-kaitkan dengan fenomena kehidupan ‘gaul’ para remaja di tanah air seiring dengan arus globalisasi yang ditandai dengan maraknya produk elektronik yang semakin tak terbendung.
Merujuk pada terminologi di atas, dengan sedikit kontekstualisasi dalam pendidikan Indonesia, sepertinya kedua kata tersebut ‘sedikit’ memiliki relevansi yang bisa dikatakan signifikan. Signifikansi tersebut akan semakin mengemuka manakala dibenturkan dengan problematika guru di tanah air. Jika kita perhatikan dengan seksama, nampaknya hanya sebagian kecil para oemar bhakrie di tengah bahaya laten korupsi yang semakin menghantui ini yang memiliki kompetensi sesuai dengan undang-undang guru dan dosen. Dan selebihnya hanyalah mereka yang nekad ‘mengadu nasib’ karena publik lainnya kurang memberikan ruang baginya.
Kondisi ini berdampak pada kualitas pembelajaran yang terjadi di lingkungan sekolah, akibat tidak memahami hakikatnya sebagai guru, banyak kita temui di ‘jalanan’ para guru yang kurang memahami materi pembelajaran (subject matter), kurang memahami bakat dan karakteristik peserta didiknya, kurang disiplin dan rapi dalam administrasi pembelajaran, dan lebih parahnya lagi nilai bisa ditukar dengan selembar uang, bahkan tak jarang disertai pula dengan tindakan amoral yang dilakukan terhadap peserta didiknya.
Dampak lain dari fenomena indisipliner guru tersebut adalah menurunnya kompetensi siswa, hingga budaya belajar (learning culture) di antara para pelajar kita sudah tidak agi dominan, hanya segelintir saja yang benar-benar menjadi ‘siswa normal’, selebihnya mereka memilih jalan pintas yang lebih menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan hidupnya, salah satunya dengan sikap alay, karena tohsekolah tak memberikan kepastian akan kebahagiaan hidup di kemudian hari. Semangat (ghiroh)seolah telah hilang dalam diri mereka.
Dan jika kalau sudah seperti ini realitasnya, maka kita pun ikut berdosa karena membiarkan mereka ‘belajar dalam ketidakpastian’, padahal sudah menjadi kewajiban guru untuk membimbing, mendidik, dan mengarahkan mereka ke depan agar dapat mengisi kemerdekaan Indonesia tercinta ini, jika tidak demikian, haruskan kita mengibarkan merah putih setengah tiang untuk mengenang kegagalan pendidikan di negeri ini.
Haruslah menjadi catatan penting bagi siapa pun yang hendak terjun ke dunia pendidikan bahwa menjadi seorang pengajar sekaligus pendidik itu bukanlah urusan yang mudah, namun dibutuhkan pelbagai kompetensi yang dapat menunjang transformasi keilmuan kepada peserta didik. Dan kepada pengelola pendidikan terutama perguruan tinggi kependidikan agar tidak dengan mudah memuluskan langkah para calon mendidik guna meraih gelar sarjana pendidikan, apalah artinya sebuah lisensi akademik manakala hanya berkutat pada activity semata dan bukan output yang dihasilkan. Jika tidak, Guru Lebay, Murid pun Alay bukanlah isapan jempol belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H