Han Jae-Rim memposisikan penonton seakan-akan sebagai menjadi penonton asli dari acara ini. Kita bak menyaksikan perjuangan para peserta untuk menghibur kita sebagai penonton.
Hal yang membuat saya tertawa getir adalah tatkala episode 2, saya sempat merasa agak bosan dikarenakan peserta hanya perlu naik turun tangga untuk menambah waktu.Â
Kemudian, Han Jae-Rim seakan mengerti perasaan penonton dan menyindir penonton dengan tidak menambah waktu para peserta, dan memaksa peserta untuk menunjukkan aktivitas 'menghibur' lainnya. Sungguh ironi, kita bak sedang diajak untuk terhibur melihat penderitaan orang-orang yang berusaha meraih cuan.
Menggelitik Perihal Manusia yang Tak Bisa Lepas dari Kelas Sosial
Setiap peserta diberi kesempatan untuk memilih kartu yang sudah diberi nomor. Setiap nomor kartu menunjukkan lantai kamar, dan setiap kamar memiliki luas yang berbeda. Semakin tinggi nomor kartu, semakin bagus kamar yang didapatkan, dan semakin banyak uang yang dihasilkan.Â
Tangga dalam serial The 8 Show seakan menggambarkan strata/kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Lantai paling tinggi menjadi pemegang kekuasaan dan hidup dengan berbagai macam priviledge yang membuat orang yang tinggal di dalamnya bebas melakukan apapun yang mereka mau. Sebaliknya, mereka yang hidup di lantai terbawah harus menerima kenyataan bahwa mereka hidup dalam keterbatasan.
Dalam serial The 8 Show, pemilik lantai paling tinggi kerap melakukan tindakan semena-mena pada pemilik lantai bawah. Peraturan game dibuat berdasarkan keinginan penghuni lantai atas agar mereka tak terkena imbas buruknya. Lantai bawah hanya bisa menuruti dan berharap keajaiban akan mengubah hidup mereka.
Han Jae-Rim seakan sedang menunjukkan potret realitas sosial di masyarakat. Kesenjangan sosial dan pengaruhnya terhadap kehidupan bermasyarakat mampu ia gambarkan melalui delapan kontestan dengan delapan tingkatan kamar yang berbeda-beda.
Seberapa Penting Uang hingga Kita Rela Mengorbankan Segalanya?
Melalui serial The 8 Show, Han Jae-Rim membawa pertanyaan penting perihal seberapa pentingnya uang sehingga kita rela mengorbankan segalanya. Seberapa rela kita menyajikan sesuatu yang 'menyenangkan' dan 'dramatis' dari hidup kita dan menjadikannya tontonan bagi orang-lain dengan harapan dapat memancing atensi agar dapat meraih cuan?
Sebagai penonton, saya seakan diajak untuk merenung, bahwa apakah selama ini kita menikmati penderitaan orang-lain sebagai bahan tontonan? Tertipu dengan rasa 'kasihan', padahal kita hanya ingin melihat orang tersebut lebih menderita daripada kita.