Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Belajar Memanusiakan Tenaga Kependidikan dalam Film Budi Pekerti

21 Maret 2024   21:35 Diperbarui: 22 Maret 2024   18:51 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi tadi, tatkala saya mendapat notifikasi bahwasannya film Budi Pekerti telah tayang di platform Netflix, saya langsung meluangkan waktu untuk menontonnya sekali lagi, setelah sebelumnya saya menonton di bioskop. 

Tak disangka-sangka, film ini masuk OTT dengan waktu yang terbilang cepat, hanya berselang 4 bulan dari penayangannya di bioskop.

Bukan tanpa alasan saya tertarik menonton Budi Pekerti untuk yang kedua kalinya. Film Budi Pekerti saya nobatkan sebagai film Indonesia terbaik di tahun lalu, dan juga menjadi film Indonesia favorit saya sepanjang masa. Alasannya? Ada banyak sudut pandang baru yang saya dapatkan ketika menonton film ini.

Artikel ini tak akan membahas soal resensi film Budi Pekerti, karena sebelumnya pernah saya tuliskan dengan judul "Budi Pekerti: Tuntutan Menjadi Individu Sempurna di Era Digital". Kali ini, saya akan menjelaskan alasan mengapa film Budi Pekerti perlu kamu tonton minimal sekali seumur hidup.

Berlebihan? Tentu tidak. Film ini memang penting untuk ditonton semua orang.

Belajar Memanusiakan Tenaga Pendidik

"Tidak ada yang sempurna. Hanya perlu mata yang baik untuk menemukan ketaksempurnaan yang tersembunyi itu." - Daphne Delacroix

Tak ada manusia yang sempurna, semuanya pasti pernah berbuat salah, baik kesalahan yang disengaja maupun tidak. Begitu pula dengan guru, yang seringkali diposisikan sebagai sumber teladan yang tidak boleh berbuat kesalahan. Padahal, guru juga manusia yang bisa saja 'salah' dalam metode pengajaran yang ia lakukan.

Sebagaimana Bu Prani dengan metode hukuman "refleksi" yang ia terapkan kepada murid-muridnya yang melanggar peraturan. Metode tersebut dibangga-banggakan oleh wali murid, alumni, bahkan pihak sekolah. Namun ketika sisi lain (buruk) muncul sebagai dampak dari hukuman refleksi tersebut, mereka semua berbalik mengecam metode yang dilakukan oleh bu Prani.

Metode yang Bu Prani lakukan bisa jadi salah, namun apakah kesalahan tersebut berhak membuat netizen untuk menghakimi dan menganggap dirinya tak pantas menjadi seorang guru? Seakan dedikasinya sebagai guru selama bertahun-tahun hilang dan tak mempunyai manfaat satupun?

Film Budi Pekerti berhasil mengemas karakterisasi tokoh Bu Prani dengan humanis, menunjukkan sisi 'manusiawi' seorang guru yang juga dapat melakukan kesalahan, marah, dan idealis dalam memegang prinsipnya. Bukan berarti kesalahan tersebut diwajarkan, melainkan menjadi bahan evaluasi untuk guru tersebut agar nantinya lebih baik lagi.

Tak Ada Metode Pendidikan yang Sempurna

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun