Masa kecil adalah masa yang paling menyenangkan untuk diingat. Masa-masa ketika kita bebas melakukan apa saja tanpa perlu takut salah dan masa-masa dimana kita memiliki rasa keingintahuan yang tinggi ada pada masa kanak-kanak.Â
Ketika Ramadan, setiap orang pasti punya kisah nostalgia Ramadan masa kecilnya tersendiri. Ada yang iseng kabur dari tarawih dan malah main petasan, ada juga yang selalu mengejar tanda tangan ustadz usai tarawihan. Kalau saya sendiri, ketika tema hari ini adalah tentang nostalgia nuansa Ramadan masa kecil, saya cukup bingung ingin menulis apa.
Setelah saya membaca artikel para kompasianer, saya sedikit iri dengan kisah mereka. Ramadan masa kecil mereka diisi dengan keseruan yang menyenangkan. Berbeda dengan saya, saya sendiri cenderung lebih sering menghabiskan waktu sendirian ketika Ramadan dibanding bersama teman-teman.
Tapi baiklah, saya akan mencoba menulis kisah Ramadan saya ketika masih kecil. Semoga kompasianer dan pembaca tak merasa bosan dengan kisah yang saya hadirkan.
Pertama kali saya diajarkan puasa adalah ketika masih di jenjang taman kanak-kanak. Itupun saya masih menggunakan metode "Puasa setengah hari", dulu keluarga saya memang tak pernah memaksa saya untuk puasa hingga maghrib. Oleh karena itu, kadang saya suka diam-diam mengambil air minum di kulkas, walau masih di pagi hari. Maklum, anak TK, hehe..
Ketika masuk sekolah Dasar, saya mulai diajarkan untuk berbuka puasa hingga magrib. Selalu ada reward yang saya dapatkan ketika berhasil puasa apalagi jika full sebulan penuh.Â
Tapi ketika di sekolah, karena banyak teman-teman yang berbuka puasa secara diam-diam, pernah sewaktu itu saya ditawarkan permen, awalnya saya menolak, namun ketika perjalanan pulang saya lapar, akhirnya saya makan juga permennya.
Memasuki kelas 3 SD, ketika keluarga saya pindah rumah, keluarga kami pun perlahan sedikit berubah. Berkat salah satu tetangga, ibu saya jadi sering mendengarkan ceramah agama dan mulai menggunakan hijab dalam kehidupan kesehariannya. Padahal, dulunya ia hanya menggunakan hijab ketika sedang acara saja.
Karena kondisi keluarga saya yang perlahan berubah, saya juga ikut berubah. Bisa dibilang dengan "Hijrah", dalam artian berubah menjadi pribadi yang lebih baik.Â
Oiya, saya adalah anak pertama dari 5 bersaudara. Waktu itu, adik saya hanya satu. Jadilah saya dan orang-tua serta adik saya jadi lebih mudah ketika bepergian jauh. Kami sering pergi ke Masjid Bank Indonesia, dan masjid-masjid di Jakarta lainnya untuk mendengarkan kajian agama. Biasanya, saya dan ibu saya akan menggunakan kereta ketika berangkat, dan pulangnya diantar oleh ayah saya menggunakan motor.