Naungan adalah kebutuhan primer bagi manusia. Naungan ini berfungsi untuk melindungi manusia saat beraktivitas agar terlindung dari pengaruh negatif lingkungan. Seiring dengan berkembangnya peradaban, kebutuhan akan naungan juga berkembang bersamaan dengan kebutuhan akan ruang ideal untuk bertinggal. Menurut Badan Litbang Kesehatan, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Berdasarkan UU no. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pada pasal 1 ayat 7, rumah adalah bangunan gedung yang berfugsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta aset bagi pemiliknya.
Hunian merupakan kebutuhan dasar manusia dan hak bagi semua orang untuk menempati  hunian yang layak dan terjangkau (Shelter for All) sebagaimana dinyatakan dalam Agenda Habitat (Deklarasi Istanbul) yang juga diikuti oleh Negara Indonesia. Pada Habitat 21 di Rio de Janeiro tahun 1992 mengartikan pembangunan permukiman secara berkelanjutan sebagai upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kuallitas lingkungan sebagai tempat hidup dan bekerja semua orang. Untuk itu perlu dipersiapkan tempat tinggal yang layak bagi semua, perlu diperbaiki cara mengelola lingkungan, mengatur penggunaan tanah untuk permukiman, meingkatkat sarana dan prasarana lingkungan permukiman, menjamin ketersediaan transportasi dan energi, dan juga perlu dikembangkan industri konstruksi yang mendukung pembangunan serta pemeliharaan perumahan.
Indonesia di tahun 2017 menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) memiliki jumlah penduduk sebanyak 255,18 juta jiwa. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia. Selain itu Indonesia juga merupakan salah satu negara yang diprediksi akan mengalami bonus demografi hingga tahun 2030 (Bappenas, 2017). Menurut perkiraan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat angka backlog perumahan di Indonesia mencapai sekitar 13,5 juta unit pada tahun 2016. Kebutuhan akan perumahan setiap tahun mencapai 800.000-1.000.000 unit per tahun, sedangkan kemampuan pemerintah dan pengembangan hanya mampu menyediakan 400.000 unit per tahun.
Jakarta, sebagai salah satu Kota besar di Indonesia, bahkan mungkin bisa dikatakan sebagai kota dengan tingkat kesibukan dean kepadatan yang sangat tinggi. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 171 tahun 2007, Provinsi DKI Jakarta terdiri atas daratan seluas 662,33 km dan berupa lautan seluas 6.977,5 km. Provinsi DKI Jakarta terdiri dari beberapa kota yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, jakarta Utara dan Kepulauan Seribu. Didukung dengan lokasi yang strategis yaitu sebagai Ibukota dari Negara Indonesia, menyebabkan Kota Jakarta memiliki banyak keuntungan dari berbagai sektor seperti dari sektor pemerintahan, perkantoran, bisnis, perdagangan dan jasa, dan lain lain.Â
Dengan banyaknya sektor-sektor yang ada tersebut menyebabkan perkembangan dan kemajuan kota ini semakin pesat jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang ada di Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan banyak masyarakat yang cenderung untuk mencari penghasilan di Kota Jakarta. Semakin banyak penduduk yang bermigrasi maupun urbanisasi ke Ibu Kota Negara ini, maka semakin meningkat pula jumlah dan kepadatan penduduk setiap tahunnya.
Jika dilihat melalui data BPS bahwa pertumbuhan penduduk di kota Jakarta sendiri berkisar antara 1,03% per tahunnya. Dilihat dari kondisi eksistingnya, dengan luas wilayah sekitar 662,33 km seharusnya Kota Jakarta sendiri hanya memiliki beban tampung yang ideal sekitar 6,5 juta jiwa. Akan tetapi di kondisi eksistingnya bahkan jumlah warga Jakarta sendiri sudah melebihi angka dari 13 juta jiwa. Dengan kondisi seperti ini, dan juga persentase pertumbuhan penduduk yang tinggi maupun tingkat migrasi menuju Jakarta semakin tinggi, maka dapat dikatakan kebutuhan Jakarta kedepannya akan perumahan dan permukiman akan semakin tinggi.
Namun masalah yang ada di Jakarta tidak hanya itu, Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, ketersediaan lahan di Jakarta untuk dijadikan permukinan sudah hampir tidak ada. Meskipun ada tanah belum terbangun, statusnya pun sudah dimiliki pengembang swasta. "Sebenarnya Jakarta Timur sebagian besar untuk industri dan pergudangan. Tapi hanya Jakarta Timur yang masih ada lahan kosong.Â
Sayangnya punya swasta," terangnya. Data IPW mengungkapkan bahwa rata-rata harga tanah paling murah berada di wilayah Jakarta Timur yakni senilai Rp 7,9 juta per meter persegi. Jika dihitung dengan modal Rp 350 juta untuk membeli tanah di Jakarta Timur hanya akan mendapatkan lahan seluas 44 per m2. Itu pun belum dihitung biaya bangunan. Hal ini semakin menambah pelik permasalahan penyediaan kebutuhan perumahan di Kota Jakarta.
Lalu, jika kita menilik mengenai data backlog perumahan di Kota Jakarta, dilihat dari data tahun 2015 jumlah backlog perumahan di Kota Jakarta 1.3 juta rumah tangga, dengan asumsi bahwa pertumbuhan penduduk Jakarta masih sangat tinggi, ketersediaan lahan yang semakin rendah dan juga kenaikan harga lahan di Jakarta yang sangat tinggi, dapat dikatakan bahwa merencanakan pembangunan perumahan dan permukiman di kawasan Jakarta akan sangat sulit. Dilihat dari beberapa fakta diatas, ada beberapa konsep penanganan yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada di Jakarta, yaitu konsep Land Banking dan juga Konsep Transit Oriented Development (TOD). Dimana konsep penanganan ini memanfaatkan Jakarta dalam konsep Megacities Jabodetabek.
Di Indonesia penerapan konsep land banking telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu oleh pemerintah dan pihak swasta. Penerapan land banking juga telah didukung dengan adanya Badan Layanan Umum LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) sebagai  lembaga yang mengatur dan menaungi aset - aset negara. konsep land banking yang telah diterapkan pemerintah di Indonesia ialah dengan program perumnas yang telah tersebar ke berbagai kota di Indonesia. Perumnas ini diperuntukan bagi masyarakat yang tergolong MBR.Â
Hingga pertengahan tahun 2012, perumnas telah memiliki cadangan lahan sejumlah 1.900 Ha. Tanah - tanah yang dapat dijadikan objek land banking diantaranya ialah tanah bekas HGU, tanah terlantar, tanah fasus/fasos yang sudah diserahkan oleh developer, tanah-tanah aset BPPN, tanah aset departemen/lembaga pemerintah non departemen/pemda yang belum digunakan, tanah negara yang berasal dari pencabutan hak, tanah negara yang berasal dari pembebasan tanah, dan tanah milik BUMN/BUMD.