Kuhentikan saja langkahku mengular di SPBU, untuk menanti BBM jenis Pertalite, meski lajur pengisian BBM Pertamax masih sangat lengang, pada Sabtu sore (29/7) itu. Aku lantas pulang sajalah, sapatahu nanti malam stok BBM subsidi di SPBU itu tersedia lagi.
Hati kecilku  meronta, 'Tega sekali ya Pemerintah membatasi BBM jenis Pertlite yang terjangkau itu, dan menaikkan harga jenis BBM Pertamax mendekati harga keekonomiannya"
Narasi politis yang terdoktrin di hati turut jua menimpali, "Kurang apalagi SDA Indonesia, yang seharusnya  mampu dong membentuk keterjangkauan harga energi  bagi masyarakat?"
Merenung sejenak fenomena massifnya narasi 'keterjangkauan' yang dicap dengan istilah harga murah oleh pendamba subsidi energi, apakah salah?
Namun, di sisi lain, di kehidupan barat sana, menganggap istilah keterjangkauan mudah bermakna hadirnya  kesejahteraan, dimana masyarakat siap dan mampu membeli setiap kebutuhan dengan mandiri, dengan stok produknya yang layak.
Dari situ, makna keterjangkauan akan menjadi dilema bagi penyandang 'status mampu', dan harusnya berhasil menjadi perenungan dalam-dalam, memproposionalkan diri, merasakan manisnya subsidi energi itu, bukan?
Dan lamunanku melesat ke masa perang dunia I, kala Jerman diembargo negera Eropa, namun Jerman mampu menciptakan bahan bakar sintetik gasoil, lubricant oil dan waxes dari pengolahan SDA Batubaranya yang melimpah. Teknologi coal to liquid, dan direct coal liquifation ampuh meyediakan 90% kebutuhan alat tempurnya, serta kebutuhan BBM 'murah' dalam negeri di tahun 1940.
Namun, --memang-- jaman sudah berubah. Dunia sedang menerapkan teknologi ramah lingkungan memanja produksi energi bersih. Sebut sajalah aplikasi solar panel, yang menyisipkan baterai mendistribusi energi, menggerakan alat mekanik dan jua elektronik dengan efisien.
Meraba detail proses teknologi produksi baterai itu, menyisakan bayangan rumit, mengolah biji nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MPH) dan Mixed Sulphide Precipitate (MSP). Keduanya masih diproses lagi, menjadi Nickel Sulphate dan Cobalt Sulphate. Pengolahan berlanjut menjadikannya  produk  precursor dan katoda baterai, sebagai  elemen utama batrai solar panel itu.
Bayangan kenikmatan hidup menjadi warganegara sebuah negara maju itu spontan mudah hadir ya? Kenikmatan atas suguhan ragam inovasi modern menghadirkan pilihan banyak energi bersih, dan bersama mampu mengakselerasi transisi energi fossil, memantik akselerasi transisi  ekonomi lebih baik.
Lantas, apa bedanya Indonesia dengan negara-negara maju itu ya? Pertanyaan itu pantaslah terlontar meyaksikan hingar-bingar keanggotaan Indonesia yang berjajar dengan 19 negara maju dalam forum G20.
Dimana sirkle G20, ikut berperan aktiv  menuntaskan isu perubahan iklim, yang tertuang dalam Paris Agrement on Climate di 2015, serta menyusun agenda for sustainable Development 2030.
Oleh karenanya, kebanggaan Indonesia sebagai Presidensi G20 pantas membuncahkan narasi penting yang ikut ditularkan negara maju G20, terutama penguatan keutuhan NKRI dari ancaman tenggelamnya pulau-pulau, dampak perubahan iklim masa depan, lewat kebijakan 'langit biru' Â
Dan terpenting adalah kehadiran urgensi kebijakan korektif  atas  besaran subsidi energi yang harus ditekan dan tepat sasaran, demi pembangunan yang berkelanjutan.
Nah, mensesapi gaung Presidensi G20 yang memuncak di November 2022 nanti, seharusnya mampu mengubah perilaku kita, untuk se-level bersama negara maju G20 lainnya kan?
Salah-satunya yakni memampukan diri mengonsumsi BBM tanpa subisdi, dalam menciptakan konteks besar perwujudan transisi energi fosil demi ekonomi hijau yang akan mengakselerasi perbaikan ekonomi paska Pandemi ini. Tapi bagaimana mungkin?
Penegasan Politic-Will transisi energi negara G20, diantara Inflasi dan Resesi
Kebutuhan energi pastilah mudah merasuk pada sendi kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarkat. Fenomena itu mudah terlihat, kala hadir ketegasan atas kebijakan kenaikan harga BBM sesuai kadar keekonomiannya.
Hal itu, ditambah lagi dengan dinamika ekonomi yang berkelindan di masa Pademi. Terutama kesulitan memproduksi kebijakan yang mampu memenuhi kebutuhan energi masyarakat, beserta tuntutan pemerataan  pembangunan yang memerlukan dana besar.Â
Realisasi kenaikan anggaran subsidi energi sebesar Rp349.9 triliun  pada APBN 2022  menjadi beban baru, seiring kenaikan harga asumsi ICP US$ 100 per barel demi menjaga inflasi. Padahal jika kita sisir, besaran subsidi energi di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo berhasil menekan subsidi energi di bawah Rp 200 trilliun.
Namun, jika melihat  negara maju, malah mudah melepas kebijakan harga BBM sesuai harga keekonomiannya, yang ditekan kelangkaan energi fossil dunia. Meski sadar atau tidak, kebijakan melepas subidi energi tadi, sudah mengancam inflasi dan jurang resesi.
Bank Pembangunan Asia (ADB) menyebutkan rilis Asia Development Outlook 2022 jika inflasi negara berkembang Eropa rata-rata sudah tembus 32.6% (YOY) pada Juni 2022. Angka itu tertinggi dibanding negara berkembang di kawasan dunia lainnya.
Negera-negara yang tergabung dalam G20 cenderung mengalami inflasi lebih rendah. Indonesia memiliki tingkat inflasi 3.55% (YOY) pada Mei 2022.
Lantas,  bagaimana Politic-Will  Forum G20 sendiri, dalam aksi melanjutkan transisi energi itu dan  menjadikan iklim ekonomi G20 menjadi hijau, meghindari jebakan resesi global?
Tahun 2016, G20 sudah menerapkan prinsip kolektif, sebagai kelanjutan  kesepakatan Paris, Agreement on Climate Change 2015, serta The 2030 Agenda for Sustainable Development. Kesemuanya menjadi sebuah prinsip untuk penyelenggaraan investasi internasional, yakni menyokong investasi hijau.
Dalam konteks itu, Negara-negara G20 akan menitikberatkan investasi yang memuat pertimbangan faktor lingkungan, sosial dan tata kelola bersama sebagi kunci pengambilan keputusan sebuah investasi.
Muaranya, pertimbangan prinsip ESG dalam investasi  hijau itu, mampu meraih dua hal penting, yakni financial return dan positively impacting. Artinya selain mendapatkan keuntunganl (return), investasi juga harus mampu menyisipkan dampak positif bagi aspek sosial dan lingkungan secara konsisten.
Nah dasar itulah yang menjadi kekuatan G20 dalam menghadapi dinamika ekonomi yang terjadi kini, dimana potensi resesi global juga berpotensi menulari krisis keuangan global seperti krisis 2008 silam.
Dan pembuktian peran G20 untuk mengatasi krisis keuangan global 2008 juga sudah teruji, lewat paket stimulus fiskal dan moneter yang terkordinasi. Peningkatan kapasitas pinjaman IMF. Akhirnya, dengan konsistensi kebersamaan forum G20 akan mampu membantu dunia kembal ke jalur pertumbuhan, dan efektif mendorong reformasi penting di bidang finansial.
Nah, terobosan penting dalam forum G20 yang sudah teruji tadi tentu akan menjadikan sebuah role, harapan, menguatkan, menularkan akselerasi transisi energi yang harus dimulakan secepat mungkin bukan?
Presidensi G20, tegaskan tekad Transisi Energi Indonesia itu nyata!
G20, merupakan forum kerjasama multilateral  20 negara. Anggotanya terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, perancis Tiongkok, Turki serta Uni eropa.
Forum G20 memang sedianya ingin merangkul negara-negara maju dan berkembang bersama-sama mengatasi krisis, mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan seimbang serta inklusif.
Dan di tahun ini di 2022 ini, Indonesia memegang Presidensi G20. Dan saatnya menjadikannya momentum untuk menarik perhatian dunia, atas berbagai kemajuan Indonesia, guna memantik ragam investasi hijau itu.Â
Perangkat hukum UU No 25 Tahun 2007, Peraturan Presiden No.16 Tahun 2012, UU penanaman modal serta kehadiran UU Omnibuslaw sudah disiapkan menyambut hangat ragam investasi hijau di Indonesia.
Aplikasinya, KEHATI sebuah lembaga nirlaba, sudah memulai aktivitas investasi berbasis ESG, dengan menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana hibah, untuk pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati indonesia secara berkelanjutan. Dan starter ini akan mudah memantik kehadiran investor global yang intens dengan isu-isu lingkungan dan sosial.
Sehingga upaya menggeliatkan investasi hijau di Indonesia akan mengundang ragam koorporasi  berkarakter ESG yang profesional, seperti:
1. Bagaimana Koorporasi akan mampu menggunakan energi ramah lingkungan, dengan cara terus berinovasi memperbaharui supply-chain-managemennya. Aplikasinya bisa kita lihat --salah satunya-- dari kemampuan koorporasi menggunakan sinar solar untuk energi operasionalnya.
2. Penanganan limbah Koorporasi yang layak. Bagiamana Koorporasi mengurangi emisi lingkungan selama proses operasionalnya. Aplikasinya, bagaimana cara mengolah limbahnya sebelum dibuang ke alam. Dan menjadikan added-value bagi masyarkat, seperti melakukan banyak kemitraan kepada UMKM masyarakat lewat peran ekonomi sirkular yang membantu mengurai limbah yang bisa menjadi produk lain yang berniilai tambah lainnya.
3. Koorporasi yang kreatif dan inovatif. Dimana  Koorporasi  mampu mengurangi biaya dan beban lingkungan bagi pelanggan, yang bermuara penciptaan peluang pasar baru, dengan teknologi ramah lingkungan. Aplikasinya bisa kita rasakan, dimana sebuah Koorporasi mampu beralih menggunakan bahan daur ulang sebagai bahan dasar produknya.
Nah tentu saja, gambaran itu bukan harapan saja, namun semakin kemari, ketegasan Indonesia dalam proses transisi energi guna memanja investasi hijau  sudah terbukti?
Semisal penerapan Carbon Capture and Storage (CCUS) oleh kegiatan operasional Perusahan Migas Indonesia yang sudah jua merangsang pengembangan karbondioksida untuk dikonversi menjadi EBT seperti methanol, serta bahan-bakar sintetik lainnya. Â Dan terbaru, produk anak bangsa yang berhasil menghadirkan Bio-Avtur J2.4 Pertamina, dan sukses menerbangkan pesawat terbang dengan emisi rendah.
Semua hal itu tentu akan menjadi etalase Presidensi G20 Indonesia mematik investasi hijau di Indonesia, di masa depan.
Namun, membandingkan  kebijakan ekonomi Indonesia dengan banyak negara maju G20, memang terlihat  masih kontradiktif ya? Salah satunya kebijakannya yang masih memanja subsidi energi yang berlimpah serta kebijakan Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga acuan, ditengah kenaikan suku bunga FED.
Namun tentu saja, kebijakan subsidi energi dan juga kebijakan mempertahankan suku bunga Bank Indonesia bertujuan  menjaga nilai Inflasi, memelihara sisi sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Sampai kapan ya?
Oleh sebab itu, cita-cita Indonesia menjadi negara maju via Investasi hijau bersama G20, tentu akan jua mendorong keikutsertaan kita, melayakkan diri secara proposional untuk menikmati subisdi energi yang besar itu. Dengan harapan sasaran subisidi Pemerintah menjadi tepat sasaran, dan agenda pembangunan kita tetap berjalan.
Nah, perilaku masyarakat yang melekatkan politic-will atas aksi transisi energi tentu saja menjadikan sebuah etalase yang terindah, bagi panggung Presidensi G20 yang menarik investor dan pelaku ekonomi untuk datang memaksimalkan kemudahan berinvestasi di Indonesia. via investasi hijau.
Lantas, setelah membaca tulisan ini, mantapkah kita untuk secara sadar mampu mengonsumsi energi ramah lingkungan itu? Iya BBM tanpa subsidi, untuk bersama memulihkan ekonomi bangsa dan maju bersama  negara G20 lainnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H