Mohon tunggu...
Muhammad Satria
Muhammad Satria Mohon Tunggu... Penulis - Menambah Pengalaman dengan Menulis

Saya menulis apa saja yang saya harap bisa berguna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Demam

30 September 2021   08:15 Diperbarui: 30 September 2021   08:27 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: pexels.com (@lennart-wittstock)

Dengan perlahan kubaringkan tubuh di atas kasur lantai yang warnanya sudah pudar. Kepalaku berat, mataku berair, hidungku seakan menutup dan tidak berkenan dilalui udara. Aku merasakan sensasi yang aneh di sekujur tubuhku. Tidak sakit, namun membuat perasaanku sedih dan membuatku selalu hampir menangis.

Aku berbaring menyamping. Di hadapanku berdiri pintu rumah kami yang baru saja dipolitur. Dari pintu yang terbuka itu kulihat segerombolan anak kecil bergegas meninggalkan masjid. Sembari menenteng meja lipat dan menggendong tas kecil, mereka tertawa dengan riangnya. Beberapa menit kemudian, segerombolan lainnya ikut keluar. Dengan raut wajah yang juga ceria, mereka mengingatkanku pada masa kecilku. Pemandangan semacam itu membuatku perlahan - lahan mengantuk. Semakin kupaksakan untuk terjaga, semakin dalam pula kantuk yang kurasa. Kelopak mataku perlahan menutup dan dengan cepat aku tertidur. Belum pernah kurasakan kantuk seberat ini, sungguh perasaan yang aneh.

Suara dentingan piring membuatku terbangun. Aku terkejut sekaligus senang. Tubuhku tiba - tiba saja terasa normal, kepalaku ringan, dan aliran napasku terasa sangat lancar. Hari sudah gelap. Pintu rumah pun sudah ditutup. Aku bangkit dari posisi tidurku dan duduk. Kusapu pandang ke belakang. Sial, aku baru ingat kalau jam dinding tua yang senantiasa tergantung di atas kepalaku itu sudah tiga hari mati. Sebenarnya baterai pengganti sudah dibeli, namun entah siapa yang berkenan menggantinya. Aku tidak tahu jam berapa saat ini. Aku hanya bisa menerka - nerka. Mungkin jam sebelas malam, entahlah, yang jelas tidak lagi terdengar apa pun di luar. Lampu - lampu di rumahku sudah dimatikan. Hanya lampu kamar mandi dan lampu kamar kakak yang masih menyala. Tetapi aku tidak mendengar suara apa pun dari kamarnya, sepertinya ia sudah tertidur. Begitu pun dengan ayah dan ibu yang sejak aku terjaga, lampu kamar mereka memang sudah tidak menyala.

Aku merasa haus dan segera bangkit menuju kulkas yang berada di dapur. Dapurku tidak begitu besar. Di dalamnya hanya terdapat sebuah kulkas, rak piring, wastafel, dan sebuah meja panjang seukuran satu meter untuk meletakkan kompor dan bumbu - bumbu masak yang biasa ibu pakai. Jika aku berbaring di atas kasurku dan melihat ke arah dapur, aku hanya bisa melihat rak piring dan kulkas. Wastafel terletak lebih ke dalam bersebelahan dengan pintu kamar mandi, sedangkan meja kompor terletak di balik dinding. Sebelum memasuki dapur, aku berhenti sebentar di dekat saklar lampu. Tanganku sudah menyentuh saklar tersebut, namun sebenarnya aku merasa lampu dapur terlalu terang dan lebih cocok ditempatkan sebagai lampu teras. Kuurungkan niat untuk menekan saklar itu. Kupikir penerangan dari lampu kamar mandi sudah cukup. Meskipun hanya menghasilkan segaris cahaya, setidaknya lampu kamar mandi masih membantu mataku membedakan dinding, wastafel, rak piring, dan juga kulkas.

Sesampainya di depan rak piring, kubungkukkan badan dan secara acak mengambil sebuah gelas. Ketika kembali aku berdiri tegak dan memandang ke arah kulkas, aku terkejut bukan main. Bulu kudukku merinding. Sebuah aliran listrik seakan - akan mengalir di sekujur tubuhku. Betapa tidak? Kendati aku bukan menghadap ke arah kompor, tetapi sisi sebelah kanan mataku dapat dengan jelas melihat rupa seorang anak kecil. Ia menghadap ke arah kompor sembari memegang sebuah piring dan melakukan gerakan makan. Ia tidak bersuara, tidak pula sedikit pun menggerakkan tubuhnya. Hanya tangannya yang benar - benar digerakkan, sungguh pemandangan yang aneh. Aku sedikit bersyukur tidak menyalakan lampu dapur sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya. Tetapi bayangan itu sangat jelas membentuk rupa seorang anak kecil, entah laki - laki atau perempuan. Siapa pun itu, tidak ada anak kecil di rumah ini. Aku adalah anak yang paling kecil, aku tidak memiliki adik. Kakak pun belum menikah. Lantas, siapakah anak ini?

Bergegas aku membuka pintu kulkas, menuang air ke dalam gelas, dan menuntaskan hausku. Kemudian kuletakkan gelas di atas kulkas dan dengan segera berniat kembali ke kasur. Saat aku berjalan menuju pintu dapur, anak kecil yang hanya nampak rupanya itu masih berdiri di tempat yang sama dan melakukan gerakan yang sama. Entah apa yang dimakannya. Keadaan saat itu sangat gelap sehingga hanya rupa hitam yang terlihat. Meskipun begitu, sekali lagi kutegaskan, aku yakin betul pada apa yang kulihat dan aku sama sekali tidak sedang berhalusinasi.

Situasi mencekam ini belum selesai. Ketika aku berbaring di kasur dan berusaha untuk terlelap, suara dentingan piring yang beradu dengan sendok semakin jelas terdengar. Kali ini justru muncul pula suara - suara obrolan manusia yang tidak begitu jelas kudengar. Kepalaku secara perlahan kembali terasa berat, meskipun tidak seberat sebelum aku tertidur. Sebuah cahaya kemudian muncul di depan mataku dan aku terbangun. Ya, cahaya itu tidak lain cahaya lampu ruangan tempat kasurku diletakkan. Aku memang tidak punya kamar. Entah aku menyebut ruangan ini apa, mungkin ruang tamu, meskipun tidak ada satu pun sofa seperti ruang tamu pada umumnya. Di depanku terlihat ibu dan kakak. Sembari duduk menyila berhadap - hadapan, mereka menyantap makanan dan saling bercerita tentang berbagai hal yang mereka lalui hari ini. Pintu rumahku ternyata masih terbuka. Kulihat banyak anak kecil kembali datang ke masjid, tetapi langit sudah gelap dan berwarna keunguan. Rupanya sudah senja. Demam yang menghinggapi tubuhku membuat bunga tidurku menjadi begitu aneh. Tidak lama kemudian ibu menengok ke arahku. Menyadari aku sudah terbangun, ia segera mengambil sedikit nasi dan lauk untukku. Tak lupa ia memberikan dua botol obat yang harus kuminum selepas makan agar panas tubuhku dapat kembali turun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun