Mohon tunggu...
Muhammad Satria
Muhammad Satria Mohon Tunggu... Penulis - Menambah Pengalaman dengan Menulis

Saya menulis apa saja yang saya harap bisa berguna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Latah Berucap Riya

16 April 2020   21:47 Diperbarui: 16 April 2020   21:51 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengacu kepada hadits Rasulullah Muhammad shalallahu'alaihiwasallam, riya' merupakan salah satu penyakit hati pada manusia. Ya, penyakit hati yang membuat seseorang berbuat baik karena ingin dipuji manusia lain, bukan semata-mata mengharap ridha Allah subhanahuwata'ala. Penyakit hati yang cantik bungkusnya, namun busuk dalamnya.

Manusia diperintahkan untuk saling mengingatkan. Tentu, mengingatkan dalam kebaikan, salah satunya bahaya akan riya'. Namun - tanpa bermaksud berprasangka buruk - pernahkah kita merasa bahwa kebanyakan manusia saat ini hanya latah saja berucap riya'? Pernahkah kita merasa bahwa dalam hal ini mereka bukan murni mengingatkan, namun lebih disebabkan oleh dorongan kebencian personal terhadap orang yang "diperingatinya"? Tidakkah perbuatan demikian justru terlihat sebagai bentuk penyakit hati yang lain, yakni iri hati atau kedengkian? Sejujurnya, sangat miris bila memang demikian.

Dunia sedang berduka, Corona semakin menggila. Membabi buta "memangsa" korbannya, membuat ribuan orang meregang nyawa. Hampir semua negara memerintahkan penduduknya untuk tetap di rumah saja, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, #dirumahaja ternyata berdampak cukup parah terhadap ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pekerja harian. 

Dengan demikian, muncullah inisiatif dari kelompok masyarakat lain yang masih merasa berkecukupan untuk memberikan bantuan: baik berupa makanan, uang tunai, maupun alat penunjang kesehatan. Perbuatan mulia tersebut pun didokumentasikan dan disebarluaskan melalui sosial media, seperti terlihat pada akun sosial media dua influencer besar Indonesia: Ria Ricis dan Atta Halilintar.

photo credit: instagram.com/riaricis1795
photo credit: instagram.com/riaricis1795
photo credit: instagram.com/attahalilintar
photo credit: instagram.com/attahalilintar
Kendati demikian, perbuatan mulia tersebut masih saja mendapat nyinyiran yang rasa-rasanya cukup menyakitkan.

photo credit: instagram.com/riaricis1795 & attahalilintar
photo credit: instagram.com/riaricis1795 & attahalilintar
Padahal dr. Tirta, salah seorang dokter yang mungkin saat ini bisa juga dikatakan sebagai influencer, menyatakan di sebuah forum di televisi bahwa pendokumentasian tindakan berbagi tersebut dapat memicu semangat berbagi serupa pada manusia-manusia lainnya. Lagipula, toxic di sosial media tidaklah sedikit, bukan? 

Berapa banyak prank-prank di sosial media yang mempermalukan orang lain, atau perbuatan membuang-buang makanan, atau ungkapan-ungkapan kebencian? Anggap saja tindakan berbagi ini menjadi penawar bagi toxic-toxic tersebut. Penawar - yang juga dapat menjadi kekuatan di dalam sosial media untuk membentuk pribadi-pribadi berperilaku terpuji.

Beruntung, dukungan terhadap perbuatan mulia berbagi ini juga tidak kalah banyak.

photo credit: instagram.com/riaricis1795 & attahalilintar
photo credit: instagram.com/riaricis1795 & attahalilintar
Marilah kita ubah rasa iri pada diri kita menjadi rasa iri yang mendorong kita untuk berbuat kebaikan yang serupa, atau bahkan lebih baik. Indah bukan jika melihat semua manusia hidup dalam ketenangan, melihat tidak satu pun manusia disiksa oleh rasa lapar? Akhirulkalam, sekian dari saya, dan... semangat terus penyebar kebaikan! :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun