Pembicaraan terkait pendidikan di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Selalu saja ada sesuatu yang 'enak' untuk diperdebatkan. Setiap tahun kebijakan-kebijakan baru coba diterapkan, pro dan kontra sudah pasti tak dapat terelakkan.
Tahun ini ramai bahasan terkait sistem zonasi. Sejauh yang saya baca di sosial media, lebih banyak kontra terhadap sistem ini. Banyak anggapan yang menyatakan bahwa hasil ujian nasional (NEM) tidak ada gunanya lagi, karena setinggi apapun NEM yang didapat tidak serta-merta mampu membawa para siswa untuk mendapatkan sekolah-sekolah yang diimpikan. Sekolah impian, sudah pasti yang difavoritkan. Tapi sepenting itukah sekolah favorit?
Beruntung saya punya pengalaman mengenyam pendidikan, baik di sekolah yang difavoritkan maupun yang tidak, sehingga saya tau betul seperti apa perbedaannya. Pertengahan tahun 2012, saya mulai bersekolah di SMP Negeri 41 Jakarta. Sekolah tersebut sangat difavoritkan, apalagi kerap bersaing di 3 besar dengan SMP-SMP negeri lainnya se-Jakarta. Namun jarang sekali saya mendapatkan nilai yang memuaskan. Setelah lulus, NEM yang saya dapat juga pas-pasan. Hal itu terjadi karena kesalahan saya sendiri yang menganggap segalanya akan mudah-mudah saja.
Berbekal NEM tersebut, jujur, sangat sulit bagi saya untuk bisa menembus satu dari sekian SMA negeri yang ada di Jakarta. Pada jalur umum tahap pertama, tidak ada satu pun SMA negeri di Jakarta yang mau menerima saya. Berjuang kembali di jalur lokal, Alhamdulillah, saya akhirnya diterima, di SMA Negeri 97 Jakarta tepatnya. Pada saat itu, tahun 2015 tepatnya, mengacu pada situs-situs yang menyajikan pemeringkatan SMA-SMA negeri di Jakarta, saya selalu mendapati SMA saya berada di luar 50 besar. Bisa atau tidaknya situs-situs tersebut dipercaya, memang itu faktanya.Â
Penilaian tersebut juga sempat mempengaruhi cara pandang saya pada SMA tersebut. Saya mengira bahwa saya akan bersekolah di tempat yang tidak disiplin, fasilitas seadanya, dan diajar oleh guru-guru yang biasa-biasa saja. TERNYATA SAYA SALAH! SMA saya sangatlah disiplin. Kegiatan belajar mengajar (KBM) selalu dimulai tepat pukul 06.30 dan berakhir tepat pukul 15.00 (kecuali pada hari Jumat dan jika ada peristiwa khusus, gempa bumi misalnya).Â
Ketika bel tanda masuk sudah berbunyi, gerbang sekolah tidak dibiarkan terbuka lagi. Pemeriksaan kelengkapan seragam sekolah serta kelayakan para siswa dalam berpenampilan dilakukan setiap pagi. Tadarus Al-Qur'an dan doa khusus bagi para siswa penganut agama lain tidak pernah terlewatkan sebelum dimulainya KBM.Â
Segala macam laboratorium tersedia beserta fasilitasnya. Buku pelajaran selalu dipinjamkan. Para guru mengajar dengan baik. Ada satu guru matematika, ibu Era namanya, yang bahkan lengkap sekali dalam mengajar (menjelaskan konsep dasar serta cara 'kilat' dalam pemecahan soal-soal matematika). Puncaknya, banyak sekali teman saya yang diterima di kampus-kampus ternama seperti UI (saya salah satunya), PNJ, UGM, IPB, UnPad, UB, UNJ, UPNVJ, dan sebagainya.
Inti dari curhatan saya ini ialah sudah bukan zamannya lagi memfavoritkan sebagian sekolah, karena memang kenyataannya semua sama saja :) Namun bukan berarti Anda asal-asalan dalam memilih sekolah. Jadikan akreditasi sebagai acuan, terkhusus yang akan memilih SMA.Â
Sekolah yang terakreditasi A mendapatkan kuota SNMPTN (jalur undangan/masuk universitas negeri tanpa tes) paling banyak. Walaupun saya tidak diterima di UI melalui jalur tersebut, namun saya tetap merasakan pentingnya. Saat ini, segalanya kembali lagi ke tiap-tiap siswa. Teruntuk yang belum rezekinya bersekolah di 'SMA Favorit', jangan bersedih. Terima jalan dari Tuhan dengan ikhlas, berdoa, dan berusahalah dengan sungguh-sungguh. Insya Allah, kesuksesan siap menyambut Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H