Pada medio bulan Juli 2023 lalu, menteri transportasi Singapura, Subramaniam Iswaran (62 tahun) ditangkap Biro Investigasi Praktik Korupsi (CPIB), KPK-nya negara Singapura, karena yang bersangkutan dinyatakan bersalah dengan dakwaan menerima gratifikasi berupa perjalanan dengan menaiki pesawat jet pribadi dari pengusaha lokal.
Tidak hanya sampai itu, dia juga menerima gratifikasi berupa tiket menonton Formula 1 dan liga Inggris, akomodasi hotel mewah, sepeda lipat Brompton, minuman alkohol kelas wahid, dan tiket pesawat ke luar negeri.
Atas perbuatannya tersebut, ia dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan Singapura. Kejadian ini seolah mengingatkan kita kepada seorang anak pejabat negara Indonesia yang juga menerima fasilitas menaiki jet pribadi dari seorang pengusaha Singapura, namun bedanya hingga kini kasus ini belum ada titik terangnya, apakah hal termasuk bagian dari gratifikasi menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, padahal dari duduk perkaranya, hampir sama persis modusnya, hampir sama enaknya.
Faktanya memang sangat sulit memberantas praktik gratifikasi atau suap menyuap di negara ini, faktor utamanya adalah adanya budaya ketimuran pada bangsa ini yang suka saling memberi hadiah atau tahu terima kasih serta aroma "ewuh pekewuh" alias "tidak enakan" dalam suatu jalinan hubungan.
Sudah semacam menjadi aturan tak tertulis dimana kita perlu membawa "sesuatu" kepada seseorang yang telah memberi kita kesempatan baik itu pekerjaan atau amanah. Secara kebudayaan, hal seperti adalah suatu hal lumrah, apalagi dalam konteks orang Jawa, ada semacam perasaan "pekewuh" atau "tidak enakan" jika kita diberikan kemudahan atau pertolongan oleh seseorang, namun kita tidak membalasnya dengan memberinya suatu hadiah.
Hal seperti ini sangat sering terjadi dalam keseharian budaya orang Indonesia, sebagai contoh sewaktu kecil saya pernah disuruh ibu untuk mengantarkan makanan ke rumah tetangga. Ibu saya menerangkan alasan melakukan hal tersebut, karena sang tetangga tersebut baru saja menolong ibu ketika ban sepeda motornya bocor di jalan.
Contoh lain, pada era 90an saat suasana jelang lebaran, saya pun masih ingat rumah kami penuh dengan parsel dari rekanan kerja ayah saya dari instansi negara, begitu pula beliau pun menyiapkan parsel balasan serupa. Pada saat itu hal demikian belum dianggap gratifikasi menyalahi aturan, bahkan dinilai suatu hal yang buruk jika tidak saling memberi parsel.
Seiring perkembangan jaman, pemberian yang diterima oleh penyelenggara negara dari pihak lain dalam bentuk apapun dapat dianggap perbuatan gratifikasi suap menyuap. Dua contoh pengalaman pribadi saya sewaktu kecil adalah hal yang harus dikaji bersama dalam meluruskan makna saling memberi dalam artian positif dan makna gratifikasi yang menyalahi aturan negara.
Pada prinsipnya perihal saling memberi hadiah adalah suatu perbuatan kebaikan, bahkan sangat dianjurkan dalam agama. Namun, memang ketika pemberian tersebut terdapat unsur "udang di balik rempeyek", konteks memberikan hadiah sudah tentu melenceng dari makna sesungguhnya.
Makna gratifikasi yang dilarang dalam penyelenggaraan negara diperjelas pada Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, yang berbunyi "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya".