Beberapa waktu lalu mencuat kasus menggemparkan dalam hingar-bingar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini, yaitu kasus ditemukannya 18 pendaftar PPDB pada sebuah SMA di Pati yang terindikasi menggunakan syarat Kartu Keluarga palsu.
Imbas dari kasus tersebut, akhirnya para orangtuanya akhirnya mengundurkan diri dari pendaftaran dan pasrah untuk pindah ke sekolah lain.
Mendengar kasus ini, sungguh rasanya ingin menangis, karena hal ini menggambarkan betapa suramnya kondisi pendidikan kita yang rusak justru dimulai dari mental buruk para orangtuanya sendiri.
Memang saya tak bisa menggeneralisasi semua orang tua wali murid itu bermental buruk, masih banyak pula para orang tua wali murid yang berhati mulia dan memiliki pandangan pendidikan yang maju ke depan.
Namun kelakuan oknum beberapa orang tua wali murid yang bermental buruk tersebut tanpa disadari berefek besar dalam pendidikan kita, terlebih pada PPDB kita yang selalu saja ada kasusnya setiap tahun.
Penggunaan Kartu Keluarga palsu atau fiktif, kemudian modus 'menumpang' Kartu Keluarga warga sekitar Sekolah yang dianggap "Favorit", kemudian ada pula praktik siswa titipan, ternyata jamak terjadi dalam pemberitaan PPDB tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya.
Jika ada yang berpendapat lebih baik kembali ke sistem NEM dan menghapus sistem Zonasi, saya sendiri berpendapat tidak setuju, karena yang salah bukan sistemnya, tetapi SDM nya yang masih ada sebagian bermental curang. Pada jaman NEM terdahulu, kasus kecurangan sebenarnya sama saja banyak kecurangan siswa titipan, tetapi karena belum jamannya marak sosial media, kasus-kasus yang ada hanya berkembang dari mulut ke mulut.
Saya masih ingat di jaman dulu, ada teman sekelas yang pernah di-bully bahwa orangtuanya tukang korupsi, karena banyak isu beredar bahwa dia terdaftar di sekolah dengan cara menyogok. Entah benar atau tidak, praktik kecurangan PPDB memang selalu ada dari jaman dulu.
Sementara kasus PPDB Zonasi kali ini paling jamak adalah kasus syarat KK palsu atau fiktif dan KK menumpang warga sekitar sekolah. Tak ayal hal ini membuat beberapa peserta didik yang warga asli sekitar sekolah dan juga peserta didik berprestasi menjadi tersingkir melalui peringkat yang ada. Banyak orang yang menyalahkan aturan sistem Zonasinya, padahal yang salah adalah banyak orang tua yang tak jujur dalam persyaratan.
Kasus KK palsu di Pati itu hanyalah sekelumit yang terungkap, saya meyakini banyak kasus serupa yang tak terungkap di daerah lain, mengingat banyaknya laporan para peserta didik warga asli sekitar sekolah gagal masuk terdaftar pada sekolah negeri yang jaraknya hanya selemparan batu dari rumahnya.