Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Relevansi Trilogi Politik Etis Deventer di Zaman Kekinian

12 Juni 2024   14:22 Diperbarui: 12 Juni 2024   14:49 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Educatie…. Irigatie….. Emigratie….

Itulah Trilogi Politik Etis pada jaman Hindia Belanda yang digaungkan tokohnya yaitu Van Deventeer. Bisa dikatakan pemikiran Van Deventeer sangatlah progresif di jamannya, dikarenakan hampir rata-rata negara Kolonialis pada akhir abad 19, belum ada yang terpikir untuk memajukan negara jajahannya secara holistik dalam hal pendidikan, pertanian dan pemerataan ekonomi, kebanyakan masih terus mengekploitasi habis-habisan kekayaan sumber daya alam negara jajahannya.

Siapakah Van Deventeer itu ? apakah Politik Etis Belanda itu ? ….

Nama lengkapnya Conrad Theodor "Coen" van Deventer lahir pada 29 September 1857, profesi utamanya adalah bergerak dalam bidang hukum, ia juga penulis aktif  tentang Hindia Belanda dan anggota Dewan Negara Belanda. Ia dikenal sebagai pencetus awal Gerakan Politik Etis Belanda.

Dilansir dari Wikipedia, Van Deventer muda yang berbakat dalam bidang hukum bertolak ke Hindia Belanda. Dalam waktu singkat, Deventer menjadi kaya raya dari profesinya dalam firma hukum, karena pada saat itu sedang booming perkebunan perkebunan swasta serta maskapai minyak BPM yang bermunculan saat itu sehingga sangat membutuhkan jasa penasihat hukum.

Deventeer termasuk politisi berjiwa humanis, dimana ia mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan tanah jajahan. Hal ini bisa dikatakan sangat progresif di jamannya, karena para negara Imperialis di jaman belum terpikirkan untuk memajukan negara jajahannya.

Perihal yang paling monumental yang dilakukannya adalah  menulis artikel dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan) pada tahun 1899. Pengertian Eereschuld secara substansial adalah "Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim". 

Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana negara sekecil Belanda menjadi makmur hidup enak adalah hasil dari memeras keringat  darah bangsa pribumi  daerah jajahan di Hindia Belanda ("Indonesia"), sementara di sisi lain Nusantara (Hindia Belanda) saat itu miskin dan terbelakang, maka sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan melalui pembangunan yang memajukan daerah jajahannya.

Plakat Deventer di Leiden (sumber: wikipedia)
Plakat Deventer di Leiden (sumber: wikipedia)

Pada tahun 1903, Saat Deventer menjadi anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari menteri daerah jajahan  untuk menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi rakyat pribumi di Jawa dan Madura. Hanya dalam waktu satu tahun, ia berhasil menyelesaikan tugasnya.

Secara  terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang teramat menyedihkan, bahkan ia sangat berani dengan tegas menyalahkan kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda. Tulisan itu sangat terkenal, dan tentu saja mengundang banyak reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang  juga terkenal adalah yang dimuat oleh De Gids juga (1908) ialah sebuah uraian tentang Hari Depan Insulinde, yang menjabarkan prinsip-prinsip etis dan proposal yang harus dilakukan pemerintah terhadap tanah jajahannya.

Saya termasuk orang yang membaca sejarah secara obyektif, artinya mencari jalan tengah, berusaha tidak pro kepada yang sifatnya personal. Termasuk dalam mengkaji sejarah Bangsa Asing  ketika menjajah Nusantara, sebenarnya tak sepenuhnya buruk seperti yang kita pahami hingga kini.

 Entah seperti apa pulau Jawa tidak dibangun jalan Anyer-Panarukan oleh Deandels, mungkin kita tak bisa melihat jalur pantura yang kita lihat sekarang. Entah apa jika Raffles tidak mengumpulkan tradisi oral bangsa ini melalui karya monumentalnya History of Java, mungkin kita tak banyak tahu masa lalu nenek moyang kita. Dan kita tak tahu bangsa ini jadinya, seandainya aktivis humanis Van Deventer tidak menderas pikirannya bagi kemajuan bangsa ini melalui Trilogi Politik Etis.

Mau tidak mau, saya sebagai bangsa Indonesia mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuan Van Deventer, sebagai pencetus awal Politik Etis di Hindia Belanda, walau dalam pelaksanannya masih banyak diskriminasi kelas sosial, namun tak pelak dampak Politik Etis di Hindia Belanda justru kelak membuat bangsa ini bersatu menuju kemerdekaan.

Melalui politik etis, lahirlah para bapak founding father kita seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, kemudian bermunculan ekonomi agraria yang hingga kini masih menyangga bangsa ini serta jalur transportasi yang menghubungkan seluruh Bandar di Nusantara.

Hal yang menarik perhatian saya adalah sebelum Van Deventer mencetuskan Trilogi Politik Etis, dia melakukan riset mendalam tentang Nusantara, bisa dikatakan dia adalah peneliti pertama tentang Nusantara yang sangat komprehensif hingga detail angka-angkanya, mulai dari pusat-pusat ekonomi, jalur perdagangan, distribusi hingga karakteristik masyarakat pribumi. Semuanya ia ungkapkan melalui artikel-artikelnya yang bernas di jaman itu.

Hingga akhirnya beliau menyimpulkan ada tiga hal yang perlu ditekankan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam memajukan ‘Insulinde’, yaitu Educatie (pendidikan), Irigatie (Irigasi/pertanian) dan Emigratie (emigrasi penduduk /pemerataan ekonomi). Ketiga aspek tersebut benar-benar dipresentasikan oleh Van Deventer melalui riset panjang tentang kondisi riil di lapangan.

Pada artikel kali ini saya akan mengkaji relevansi ketiga aspek tersebut yang masih bisa kita gunakan sebagai tolak ukur dalam pembangunan negara kita saat ini. Jaman bisa berubah, tetapi saya melihat apa yang ditelurkan oleh Van Deventer memang benar adanya, dan sudah terbukti melalui rentang jaman, dimana ketiga aspek tersebut yang akhirnya bisa menyatukan bangsa sebesar Indonesia ini.

Educatie (Pendidikan)

Van Deventer mungkin menyadari bahwa sebenarnya bangsa Nusantara adalah bangsa yang hebat, hanya saja mereka sangat rendah literasinya. Maka dari itu hal pertama yang harus digenjot saat itu adalah memberikan pendidikan seluas-luasnya kepada masyarakat pribumi. Namun, pada prakteknya pendidikan yang dijalankan belum maksimal, karena pendidikan saat itu baru bisa menyentuh kaum ningrat bangsawan.

Walau demikian, tak lama dari digaungkannya sekolah-sekolah untuk pribumi seperti MULO, STOVIA, NIAS dan lain-lain, melahirkan para kaum intelektual awal bangsa ini, yang kelak nantinya memerdekakan bangsa ini, saat invasi Bangsa Jepang berakhir.

Lalu, apakah untuk saat ini aspek pendidikan harus tetap menjadi lokomotif utama pembangunan seperti yang digaungkan Van Deventeer seabad lebih lalu. Jawabnya HARUS !, karena hingga kini aspek pendidikan masih dianggap beban biaya ketimbang investasi masa depan oleh sebagian besar dari kita. Lihat saja kasus kenaikan UKT beberapa waktu lalu, yang mencerminkan betapa perhitungannya kita untuk ‘mbayari’ anak-anak bangsa untuk belajar menuntut ilmu.

Perlu usaha bersama yang cukup keras untuk memperjuangkan pembangunan pendidikan kita yang sudah tertinggal jauh dengan negara-negara tetangga. Kebodohan adalah musuh kita bersama, dan itulah yang ingin dilawan Van Deventer seabad lalu, dimana kita masih bodoh akan takhayul, kemalasan serta enggan untuk membaca.

Irigatie (irigasi/pertanian)

Van Deventer menyadari bahwa Hindia Belanda (Nusantara) adalah negara yang luas dan berpenduduk banyak, maka yang harus menjadi soko gurunya adalah aspek pertanian dan perkebunan. Saat itu ia tidak memilih Hindia Belanda untuk menjadi negara yang kaya dari hasil tambang atau minyak bumi, walau Nusantara kaya akan hasil tambang minyak bumi.

Dikarenakan ia memahami sulitnya mendistribusikan hasil pertambangan ke per kapita penduduk di seluruh negara. Ketimbang ruwet dalam menfokuskan bidang pertambangan, ekonomi Hindia Belanda saat itu lebih berfokus pada aspek pengembangan pertanian, padahal negara besar saat itu seperti Inggris atau Amerika Serikat sudah melirik pertambangan dan minyak bumi. Walhasil, ketika pada tahun 1930an terjadi depresi ekonomi dunia, di Hindia Belanda dampaknya tidak terlalu besar, karena memiliki ketahanan ekonomi agrikultur.

Jika kita melihat kondisi kekiniaan, sebenarnya kita sudah melenceng jauh dari apa yang direncakan Van Deventer untuk bangsa ini. Dimana kita justru sibuk melubangi tanah-tanah Kalimantan untuk dikeruk batu baranya secara besar-besaran, hingga gunung emas Grasberg di Papua yang sudah lenyap dirampok asing. Faktanya, apakah GDP dari hasil tambang tersebut sudah terdistribusikan ke seluruh rakyat Indonesia.

Imbasnya, kita ‘ngawur-ngawuran’ dalam tata kelola pertanian yang amburadul, bendungan banyak dibangun, tetapi banyak yang belum maksimal, belum lagi pembukaan lahan seperti ‘Food Estate’ yang terkesan kurang memperhitungkan dampak lingkungannya. Hal ini disebabkan dikarenakan pembangunan pertanian masih bersifat tendesius dan asal jadi.

Sebenarnya saat jaman Pak Harto, blue map pertanian kita sudah berjalan benar, dimana di tahun 1986 kita berhasil mendapatkan predikat negara swasembada pangan. Entah kenapa semenjak jaman Reformasi, pembangunan pertanian dan perkebunan terkesan dianaktirikan, dimana kita lebih  memfokuskan pembukaan izin pertambangan yang gila-gilaan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungannya.

Emigratie (emigrasi penduduk / pemerataan ekonomi)

Lagi-lagi kita mengingat jaman Pak Harto yang sukses melakukan program transmigrasi penduduk pulau Jawa ke berbagai pulau di Nusantara, dampaknya luar biasa, ekonomi mulai menggeliat di berbagai daerah hingga kini.

Seolah mungkin, pemerintahan Orba terinspirasi dari apa yang dilakukan Van Deventer sewaktu dulu, dimana ia menyarankan untuk melakukan pemerataan pembangunan di luar Jawa, seperti pelabuhan, gedung perkantoran dan fasilitas lainnya, sehingga ketika melakukan program emigrasi penduduk Jawa ke pulau-pulau lainnya bisa berjalan dengan lancar.

Lalu apa relevansinya dengan jaman sekarang, hal yang menjadi perhatian adalah aspek pemerataan ekonomi di setiap daerah. Terbukti hingga kini, pulau Jawa masih menjadi pusat ekonomi negara ini, padahal di era Hindia Belanda, pemerintahnya bisa mengubah kota Medan yang sebelumnya sepi banyak hutan, menjadi pusat ekonomi dalam bidang perkebunan.

Semoga dengan berpindahnya ibukota dari Jakarta ke IKN, bisa membawa dampak pemerataan pembangunan di berbagai daerah, sehingga dapat tercipta negara kesatuan yang memang benar-benar ‘kesatuan’, dalam artian, setiap daerah mempunyai pusat-pusat ekonominya sendiri, tidak terlalu bergantung pada Jawa-Sentris lagi.

Artikel ini tidak berusaha mengagungkan Van Deventer, tapi memang tak pelak, beliaulah yang mencetuskan pertama kali perbaikan besar-besaran atau restorasi kebangsaan Nusantara yang sudah rusak sebelumnya. Semoga kedepannya, kita bisa benar-benar fokus pada Trilogi pembangunan yang dicetuskan Van Deventer, agar tercipta Bangsa Indonesia yang benar-benar bisa memakmurkan seluruh rakyatnya. Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun