Kita sering mendengar istilah bahwa Pemilu adalah 'Pesta Demokrasi', menurut saya pribadi, jargon ini sangatlah tidak mendidik bagi masyarakat yang butuh 'melek' demokrasi. Karena, pemilu adalah perkara serius, bukan perkara main-main.
Jika masyarakat awam memaknai pemilu adalah pesta demokrasi, maka bayangan mereka adalah jika masa mau menjelang pemilu, mereka akan diberi uang bensin oleh panitia timses untuk datang ke tempat kampanye yang ada konser dangdutnya, terus dapat kaosnya, plus dapat amplop politiknya.
Kemudian ketika pas 'hari raya' pemungutan suara dilakukan, mereka menggunakan uang di dalam amplop untuk memanfaakan promo diskon postingan pemilu di tempat makan atau pusat perbelanjaan. Menurut saya, sah-sah saja, tapi mau sampai kapan praktik ini berlangsung, malah saya melihat malah tambah menggila.
Pemilu Itu Serius
Jika masyarakat sudah kadung menganggap ajang pemilu adalah saatnya bersenang-senang layaknya hari raya atau tahun baru, maka bisa saja substansi makna politik demokrasi untuk memilih pemimpin yang baik dan menyingkirkan pemimpin yang buruk menjadi kabur nilai-nilainya, karena menjadi bergeser yaitu 'yang gede yang gue pilih'.
Memilih pemimpin, menjadi sudah tidak menggunakan hati dan pemikiran obyektif, masyarakat menjadi malas mencari literasi pengetahuan politiknya, karena mengedepankan 'senang-senang', ketimbang masa depan bangsanya. Ingat, pemilu adalah perkara serius, bukan sekedar mencoblos dan celupkan jari ke tinta.
Entah mengapa saya melihat cukup jarang tayangan iklan masyarakat dari KPU untuk menghindari praktik money politik, kalau pun ada, dirasakan masih sangat minim sekali. Apalagi saya hampir jarang menonton televisi, di smartphone pun, belum ada lihat algoritma dari KPU atau pesan berantai whatsapp untuk menghindari money politik.
Kaum Pendidik Adalah Sang Garda Demokrasi
Jika sudah demikian adanya, praktis hanya kaum pendidik seperti guru, dosen, akademisi, aktivis pelajar/mahasiswa yang menjadi pertahanan terakhir untuk tegaknya nilai-nilai demokrasi pada bangsa ini, sebagaimana yang kita lihat fenomena para akademisi se-Indonesia yang beramai-ramai membuat gerakan keprihatinan atas mundurnya nilai-nilai demokrasi pada bangsa ini.
Merekalah yang berusaha menanamkan nilai-nilai kejujuran, profesionalitas dan integritas yang diperlukan dalam menegakkan demokrasi dalam setiap sanubari para peserta didik. Para guru pasti akan berusaha menanamkan nilai-nilai bahwa kita harus berkerja keras berjuang untuk meraih sukses, bukan dengan cara praktik nepotisme atau politik uang kolusi kepada para peserta didik.
Hal ini dilakukan dikarenakan sebagai bentuk keprihatinan kaum intelektual dengan kelakuan para elite politik yang mulai melenceng dari cita-cita reformasi yaitu bagaimana kita ingin mencerdaskan masyarakat kita dalam hal berdemokrasi yang sehat.
Sebagai warganegara yang baik, marilah apapun hasilnya harus bisa kita terima pemenang pemilu kali ini, jika ada yang merasa bahwa dalam prosesnya ada kecurangan dan cacat hukum, maka pergunakanlah jalur-jalur hukum untuk melawannya dengan penuh kedamaian. Jika nanti sang pemimpin terpilih sudah dilantik, hormatilah mereka sebagai amir kita, bapak kita dan teladan kita. Sebagaimana wasiat Abu Bakar Ash Shidiq, jangan segan-segan mengkritik pemimpin kita sudah melenceng dari keteladanan dan arah bangsa ini. Mari kita berdoa bersama, semoga segala proses pemilu kali ini benar-benar mencerminkan 'vox populi vox dei'. Semoga Bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H