Pada saat saya berkuliah, saya ingat pernah menemani teman saya yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya. Kamar kos saya adalah saksi bisu dimana beberapa teman kuliah saya yang menyelesaikan skripsinya di ruang sempit itu, dikarenakan saya waktu itu satu-satunya mahasiswa yang memiliki laptop diantara para geng anak-anak culun.
Saya ingat ada salah satu teman, yang harus bolak-balik revisi skripsinya oleh dosen pembimbingnya. Revisi skripsi yang dialami teman saya itu adalah masalah sampling data yang belum memenuhi syarat. Skripsi kami kebanyakan menggunakan metode kuantitatif yang memakai aplikasi SPSS, maka sampling data yang benar menjadi pintu gerbang apakah penelitian skripsi tersebut bisa lanjut atau tidak.
Teman saya itu memang mengalami kesulitan dalam melakukan sampling data kepuasan kerja responden buruh pabrik pada objek penelitiannya. Dimana tempat risetnya adalah sebuah pabrik yang cukup besar dan memiliki jumlah pekerja hingga ribuan, sementara sampling yang bisa dia lakukan tak lebih dari 100 orang alias hanya satu unit kerja dalam pabrik tersebut, dan sang dosen pembimbing pun menolak mentah-mentah dengan metode sampling tersebut, karena dinilai akan tidak valid dan reliabel jika disajikan dalam penelitian skripsi.
Dari memori tersebut, saya pun mencoba meng-compare dengan metode-metode Lembaga Survey yang melakukan survey elektabilitas Pemilihan Presiden (Pilpres), apakah hasil survey yang mereka lakukan menjadi layak untuk dipercaya alias valid.
Saya bukanlah ahli statistik, tapi saya juga penggila angka statistik, dan sangat suka sekali jika melihat infografis yang menampilkan data-data stastik dengan grafis-grafis yang menarik. Namun sekali lagi, statistik yang bisa dipercaya adalah statistik yang dimulai dari niat yang benar pula ketika penghimpunan data dilakukan.
Namun, ketika melihat fenomena begitu banyaknya lembaga-lembaga survey yang menampilkan data survey elektabilitas Pilpresnya, terkadang saya terhenyak dimana hasilnya terjadi perbedaan siapa pemenang pilpresnya, hingga terkesan apakah kita layak mempercayai hasil survey Pilpres yang dirilis beberapa lembaga survey tersebut dan bahkan menjadikannya dasar untuk memilih sang calon presiden kita.
Hasil Survey Elektabilitas Pilpres yang dirilis oleh lembaga survey tampak seolah-olah seperti ramalan mingguan Zodiak, dimana kita dihadapkan apakah kita harus percaya atau tidak dari 'perikiraan takdir' yang dibuat oleh 'sang ahli ramal'. Mengapa saya menganalogikannya seperti itu, berikut beberapa alasan mengapa saya tidak begitu mempercayai Hasil Survey Pilpres yang dirilis oleh beberapa lembaga survey.
Tidak memenuhi syarat Sampling
Menurut ahli statistik Indonesia, Arikunto mengatakan bahwa apabila subjeknya kurang dari 100, maka seluruh populasi menjadi sampel penelitian. tetapi jika subjeknya lebih dari 100 maka dapat diambil 10-15% atau 15-25%.Â
Memang tidak ada patokan dasar berapa minimal sampel yang digunakan dalam sebuah penelitian kuantitatif seperti survey elektabilitas pilpres, tetapi jika mengacu pada teori Arikunto, survey-survey Pilpres yang dikeluarkan beberapa  lembaga survey, sudah pasti tidak memenuhi kaidah standar sampel tersebut, karena ada anggapan dasar dalam dunia penelitian kuantitatif, yaitu semakin banyak sampel yang digunakan, maka semakin valid-lah dan terpercayalah penelitian tersebut.
Sebagaimana kita ketahui, dimana populasi objek yang diteliti yaitu Daftar Pemilih Tetap yang ditetapkan KPU pada pemilu 2024 adalah sebanyak 204.807.222 pemilih, berarti idealnya untuk menghasilkan hasil survey yang validitasnya tinggi dengan berpatokan minimal 10 % sampel dari populasi , maka harus mengambil sampel responden sebanyak 20.480.722 orang. Sementara kebanyakan survey elektabilitas pilpres yang dirilis beberapa lembaga survey rata-rata hanya mampu mengambil sampel sebanyak 1000-3000 responden.