Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Alasan Saya Tidak Percaya Survey Elektabilitas Pilpres

11 Februari 2024   05:45 Diperbarui: 11 Februari 2024   06:06 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Calon Pemimpin Bangsa (sumber: Tribun Kaltim)

Namun, menurut Cloud Research, untuk penelitian jejak pendapat seperti survey Pilpres yang jumlah populasinya hingga jutaan, jumlah sampelnya cukup di atas 1000 responden dengan tingkat signifikansi 95 %, sudah bisa dikatakan memenuhi standar, namun untuk mencapai tingkat keyakinan signifikansi setinggi itu dalam survey Pilpres, tidaklah semudah itu, mengingat jumlah populasi hingga jutaan pemilih, banyak syarat-syarat sulit yang harus dipenuhi.

Coba anda bayangkan, dengan hanya mengambil 1000 hingga 2000 responden dari populasi sebesar 200 juta populasi, apakah kita bisa benar-benar yakin hasil survey pilpres yang selama ini kita lihat itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.

Indonesia bukan negara homogen

Alasan utama mengapa walau hanya menggunakan sampel 1000-3000 responden dalam survey elektabilitas pilpres di Indonesia dirasakan kurang meyakinkan adalah karakter negara kita yang sangat-sangat heterogen dan wilayahnya terpisah-pisah.

Berbeda hal, jika survey elektabilitas pilpres dilakukan di negara Kamboja, Italia atau Korea Selatan yang memiliki karakter wilayah dan penduduknya yang homogen dan menyatu dalam satu daratan, dimana hanya menggunakan sampel hanya ribuan saja, sudah cukup valid dan reliabel.

Contoh, karakter pilihan masyarakat di Sumatera saja sudah sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, belum pulau-pulau lainnya. Belum lagi karakter idealisme masyarakat kita yang sangat beragam, seperti isu Suku, Ras, Agama dan variabel-variabel lainnya yang sangat kompleks di negara sebesar Indonesia.

Jadi, apakah mungkin dengan sampel hanya 1000-3000 itu mampu merepresantasikan keberagaman para pemilih di Indonesia. Mari kita buat simulasi, katakanlah lembaga survey mengambil sampel sebanyak 2000 responden, lalu mencoba mencarinya ke seluruh propinsi di Indonesia yang sebanyak 38 propinsi, berarti masing-masing propinsi mendapat 'jatah' sampling sebanyak 52 -- 53 responden saja. Bayangkan saja, satu propinsi hanya diwakili puluhan orang saja, alias hanya 1 RT saja. Dari 50an responden tersebut kita 'grading' lagi, apakah sudah mewakili preferensi kesukuan, profesi, tingkat usia, agama, jenis pekerjaan dan masih banyak variabel lainnya, artinya satu variabel saja dalam satu propinsi hanya mungkin diwakili 1-2 orang saja.

Hasil Survey Pesanan

Sudah menjadi rahasia umum, banyak lembaga survey yang menjadi pesanan dari para tim pengusung calon presiden seperti partisan, saya secara pribadi menilainya sah-sah saja, mengingat dengan kaidah statistik yang ada, survey pilpres itu memang sejatinya hanya memang untuk konsumsi bagi mereka saja, namun tidak untuk konsumsi masyarakat secara umum.

Sebagai contoh sederhana, jika ada perusahaan mie instan yang hendak ekspansi pasar di Indonesia, maka ia akan melakukan survey dengan hanya mengambil sampel cukup ribuan saja, tetapi dengan syarat-syarat tertentu, dan hasil surveynya tentunya hanya untuk kepentingan pribadi mereka, artinya mereka hanya cukup butuh 'cuplikan' data saja untuk melakukan ekspansi pasar. Karena untuk melakukan penelitian yang komprehensif membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat mahal. Makanya, survey-survey Pilpres hanya mengambil sampel hanya ribuan, karena terkait biaya dan waktu.

Jadi sebenarnya survey elektabilitas pilpres yang selama ini kita lihat adalah hanyalah cuplikan atau potret sekilas data saja dari beberapa ribu penduduk, sehingga tidak bisa dikatakan penelitian yang sangat komprehensif. 

Monggo, jika anda mau percaya silahkan atau tidak, yang jelas survey tersebut memang sangat berguna bagi para capres dalam melakukan pergerakan kampanye, tetapi tidak begitu berguna bagi para pemilih.

Kebanyakan lembaga survey menggunakan momentum Pemilu sebagai ajang eksistensi mereka kepada masyarakat, bisa dikatakan promosi kepada stakeholder, apabila nantinya jika lembaga mereka bisa dipercaya untuk melakukan survey atau riset untuk kepentingan lainnya, seperti survey ekonomi, kepuasan konsumen dan lainnya.

Membuat Pikiran Tidak Obyektif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun