Di sekolah kami ada kelas pengembangan diri tentang Informasi Teknologi, dimana para peserta didik berkreasi membuat karya-karya konten video atau gambar baik dengan smartphone atau laptop.Â
Beberapa peserta didik ada yang sudah cukup mahir menggunakan teknologi Artificial Intellegence, dimana mereka mampu mendesain video atau gambar dengan hasil yang sangat bagus hanya dengan beberapa klik saja.
Menanggapi beberapa murid yang menggunakan teknologi AI tersebut, saya memberikan saran agar tidak terlalu bergantung dengan aplikasi-aplikasi yang terlalu 'AI' tersebut, tetapi menyarankan menggunakan aplikasi-aplikasi yang masih dominan manual pengeditannya, agar mereka mengerti detail proses dan memahami tentang arti orisinilitas karya mereka sendiri, bukan kepalsuan yang kebanyakan filter.
Bicara bab Artificial Intellegence, maka yang menarik di sini adalah makna dari 'artificial' itu sendiri. Artificial jika diindonesiakan menjadi artifisial memiliki arti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah 'tidak alami' atau 'buatan'. Jika kita memaknai lagi tentang kehidupan kita, sebelum maraknya pro kontra tentang penggunaan Artificial Intellegent, bukankah kita sudah terlalu banyak 'artifisial-artifisial' yang menyelimuti kehidupan kita, dalam artian banyaknya variabel dalam diri kita yang tidak alami atau kepalsuan.
Tujuan utama penggunaan 'artifisial' tentunya agar terlihat sempurna di mata orang lain, walau itu hanyalah kepalsuan karya. Kepalsuan-kepalsuan itu kadang apakah membuat kita menjadi tenang atau malah menjadi khawatir. Memang semua itu kembali ke niat empunya yang memakai 'artifisial' tersebut, berniat baik atau punya maksud menutupi keburukan.
Kita mengenal bunga artifisial, lapangan artifisal, lukisan artifisal hingga hidung artifisal, dimana yang disebutkan tersebut sifatnya masih tangible, lalu bagaimana jika hal-hal artifisial sifatnya untangible yang melekat pada manusia seperti pura-pura kaya, pura-pura hebat, pura-pura sukses, dimana kesemuanya identik dengan menutupi sesuatu yang sebenarnya kita tidak miliki. Dari kesekian banyak kepura-puraan atau artifisial yang untangiable tersebut, menurut hemat saya, yang paling berbahaya adalah 'artifisial religius', yaitu kepura-puraan atau kepalsuan dalam berkeyakinan agama.
Dalam konteks ini, saya tidak menyalahkan agama baik sebagai subjeknya maupun objeknya, tetapi kembali kepada beberapa oknumnya yang menggunakan kedok agama sebagai artifisial untuk mendapatkan tujuan duniawinya.
Dalam sejarah umat manusia, banyak peristiwa besar memilukan yang menggunakan agama sebagai dasar fondasinya, sebut saja perang salib, recounqista, gerakan ISIS dan masih banyak lainnya. Sudah jelas peristiwa-peristiwa besar memilukan tersebut memakai kedok agama sebagai pembenar untuk membantai sesama umat manusia.
Jika sudah demikian, bagaimana mungkin jika praktik menjalankan agama yang niat awalnya adalah agar manusia memiliki jiwa welas asih yang ber-Tuhan, malah menjadi manusia yang kejam menindas manusia lainnya seolah tak ber-Tuhan.
Bukankah ini titik puncak dari 'artifisial' kepalsuan manusia dalam memeluk agama, yang justru menciptakan kekejaman terburuk dalam sejarah umat manusia, sungguh semoga kedepannya tidak terjadi lagi kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya karena kedok membela agamanya, padahal sebenarnya mereka memuaskan hawa nafsu mereka untuk kekuasaan semata.
Dalam praktik keseharian, perilaku artifisial religius sudah sering tampak dan bahkan vulgar. Dalam Islam praktik ini bisa disebut Riya', yaitu beribadah bukan semata-mata untuk Allah, tetapi justru hanya ingin dianggap 'saleh' oleh orang lain. Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Janganlah kau lakukan suatu kebaikan karena riya' dan janganlah kau tinggalkan suatu kebaikan karena malu".
Banyak orang yang mengatakan, bahwa orang Indonesia adalah masyarakat yang religius, namun praktiknya perilaku koruptif masih marak terjadi. Â Maka demikian tampak jelas dan vulgar, bahwa kesalehan tidak berbanding lurus dengan menjauhi hal-hal yang dilarang dalam agamanya. Agama hanya sekedar ritual, tidak menjadi ejawantah perilaku keilahian, dengan demikian perilaku ini sudah mengarah ke 'artifisial religius'.
Lalu bagaimana agar kita tidak terjebak menjadi insan yang 'artifisial religius', yaitu manusia yang tampak religius namun tak menunjukkan sifat saling mengasihi antar umat manusia. Berikut kiranya beberapa tips agar kita tidak terjebak menjadi insan yang 'artifisial religius'
Muhasabah Introspeksi Diri
Sebelum anda menunjuk hidung ke orang lain, tentang keburukan-keburukannya, berkacalah terlebih dahulu kepada diri anda. Jadilah manusia yang tidak mudah mengomentari kehidupan orang lain, selalu dan selalu berpikir bahwa anda masih jauh dari sempurna, sehingga anda selalu menahan mulut anda untuk mudah menilai kekurangan orang lain.
Jika ada rekan yang bercerai, jangan mudah untuk berghibah, ingat di rumah anda pun sering bertengkar dengan pasangan. Jika ada teman yang gagal naik jabatan, jangan mudah untuk mengomentarinya, ingat tugas pekerjaan anda pun masih banyak yang belum sempurna. Jika anak anda gagal dalam ujian sekolah, jangan mudah mencapnya tidak rajin belajar, ingat keberhasilan anak juga bergantung pada perhatian anda kepada sang anak.
Bermuhasabah atau introspeksi diri adalah benteng awal kita agar kita paling minimal tidak menjadi manusia yang mudah menyakiti perasaan orang lain. Dan sebenarnya jika kita beribadah dengan baik dan sungguh-sungguh, perilaku yang demikian dapat terbentuk dengan alami dan cerminan kita memaknai bahwa ibadah tidak sekedar ritual, tetapi menjadi manusia yang pengasih antar sesama.
Hampir semua peribadatan agama-agama di dunia, intinya adalah berdoa, dan hampir semuanya menganjurkan jika ritual-ritual agama sudah ditegakkan, entah itu ibadah shalat dalam Islam, atau liturgi-liturgi dalam Kristen, maka berdoalah, maka berintrospeksilah, nilailah diri anda apakah anda layak untuk bersombong di atas Tuhan dan para makhluknya. Proses kontempolasi ini akan lama kelamaan melatih diri anda menjadi personal yang lebih eling dan waspada, serta menjauhkan diri dari sifat artifisial religius alias hipokrit dalam agama.
Kerendahan Hati
Santo Agustinus berkata "Kerendahan hati adalah dasar dari semua keindahan lainnya, oleh karena itu, di dalam jiwa yang tidak memiliki keindahan ini, tidak ada keindahan lain kecuali dalam penampilan belaka".
Melanjutkan proses dari muhasabah diri, maka etape selanjutnya kita berupaya menjadi pribadi yang selalu menjaga kerendahan hati. Ketika kita sudah mengenal pribadi kita sebenarnya, baik buruknya kita, maka yang perlu jaga adalah naik turunnya perasaan hati kita dalam keseharian.
Aura baik tidak terpancar dari banyaknya simbol agama yang melekat pada tubuh kita, tetapi justru dari bagaimana kita menjaga kerendahan hati kita dalam pergaulan antar sesama, dan itu bisa didapatkan jika kita sungguh-sungguh bermuhasabah serta menjaga sikap egaliter kita.
Menghormati Penganut Agama Lain
Ada yang mengatakan, kita harus membela agama kita, idiom ini bisa benar dan bisa juga tidak bisa dibenarkan pula. Menjadi benar jika kita benar-benar paham bahwa yang kita bela bukanlah Tuhan atau institusi agama itu, yang kita bela adalah nilai-nilai kasih yang terkandung dalam ajaran agama itu, dengan cara tidak membenarkan kekerasan dan membenarkan kasih sayang dalam menegakkan kebenaran.
Filsuf Hindu, Swami Vivekanda mengatakan "Umat Kristen tidak boleh menjadi Hindu atau Buddha, atau umat Hindu Budha menjadi Kristen, dengan demikian setiap agama dapat dipandang sebagai untaian unik dalam permadani kebudayaan dunia yang menambah keindahan dan menjaga keutuhannya". Hal tersebut disampaikannya ketika  berbicara pada parlemen agama-agama sedunia tahun 1893 di Chicago.
Aspek menghormati bukan berarti menganggap semua agama itu sama, tetapi justru memahami bahwa semua itu adalah keunikan yang memang begitu adanya dan harus kita jaga, bukan justru untuk dimusnahkan hanya kita berbeda keyakinan.
Ketika kita menyadari hal ini, maka ketika menjalankan keyakinan agama bukan sekedar memamerkan simbol-simbol agama saja, seperti berpeci, berkalung salib dan lainnya, tetapi menjadikan keunikan-keunikan tersebut bukan semata sebagai artifisial, tetapi menghadirkan 'Tuhan' dalam pergaulan antar umat manusia.
Fastabiqul Khairat
Pada akhirnya manusia di dunia akan dinilai seberapa besar manfaat dirinya pada lingkungan sekitarnya. Sebuah hadis populer dari Nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Makna fastabiqul khairat yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan, memiliki arti yang universal bagi seluruh umat manusia. Perilaku koruptif, manipulasi, intrik-intrik dan laku culas lainnya harusnya bisa musnah jika manusia memaknai bahwa 'urip iku urup' yaitu hidup harus bisa menerangi sekitarnya.
Sungguh indah dunia ini, jika para penghuninya benar-benar saling tak mau kalah untuk berkontribusi menebar hal-hal positif bermanfaat bagi sesamanya, berbagi kebaikan dan berupaya menghilangkan kepalsuan artifisial keagamaan dalam dirinya.
Banyak jalan untuk menuju kebaikan, dan sejauh ini agama adalah media terbaik yang bisa digunakan oleh umat manusia untuk mencapai hal tersebut, jangan sampai agama dirusak oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang menjadikannya kendaraan hawa nafsunya. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H