Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Merdeka Belajar Ala Fidel Castro dan Che Guevara

5 November 2023   14:02 Diperbarui: 5 November 2023   14:40 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam suatu sore dengan latar langit jingga penghujung musim kemarau tahun ini, tersempatkan saya bertemu teman lama sewaktu bersekolah dulu. Layaknya pembicaraan klasik laki-laki sindrom paruh baya, sudah pasti membicarakan tentang perkembangan anak-anak kita. Dalam perbincangan tersebut, dia menceritakan bahwa baru saja memindahkan anaknya ke sekolah yang baru, dan itu yang sudah kedua kalinya, padahal anaknya masih di sekolah dasar.

Bukan karena pertimbangan mengikuti orang tuanya yang bekerja, tetapi memang sang orang tua tidak cocok dengan konsep pembelajaran sekolah-sekolah sebelumnya. Pada sekolah anaknya yang pertama, dia menceritakan bahwa kondisi ekonominya sedang bagus-bagusnya, sehingga dia menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang lumayan mahal biayanya.

Baginya pada saat itu, berprinsip bahwa pendidikan terbaik hanya dimiliki oleh sekolah-sekolah swasta yang standarnya tinggi dan berbanding lurus dengan biaya yang tinggi pula. Baginya tak masalah menggelontorkan dana yang besar untuk pendidikan bagi anaknya saat itu.

Tapi tanpa dinyana, pada saat anaknya menginjak kelas 3 SD, usaha bisnisnya jatuh akibat dampak dari COVID pada saat itu. Dia harus menjual banyak aset dan merubah 180 derajat pembelanjaan keuangan keluarganya, termasuk pendidikan anaknya.

Akhirnya dia memindahkan anaknya ke sekolah negeri yang biaya pendidikannya gratis, untuk menghemat pembelanjaan keuangan keluarganya. Seiring berjalannya waktu, ia tampak kecewa memindahkan anaknya ke sekolah negeri.

Dia melihat betapa jauhnya kualitas pembelajaran yang diterima anaknya di sekolah negeri dibandingkan dengan sekolah swasta sebelumnya. Dia mencatat, seringnya jam kosong atau pulang awal dengan alasan gurunya sedang rapat atau keperluan dinas. Kemudian terlalu banyak PR, namun minim penjelasan dari gurunya sewaktu di kelas, sehingga orang tuanya di rumah yang sudah lelah bekerja, harus memberikan penjelasan secara detail tentang pelajaran kembali kepada anaknya di rumah.

Dan masih banyak drama-drama menguras hati yang diceritakannya ketika anaknya disekolahkan di sekolah negeri. Hingga akhirnya dia memindahkan anaknya untuk kedua kalinya ke sekolah swasta yang biayanya tidak terlalu tinggi, walau dia sadar kualitas standar pendidikannya tentunya tidak sama dengan sekolah yang pertama.

Dari sepenggal kisah itu, dia membuat sebuah premis, mengapa untuk mendapatkan standar pendidikan yang layak harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Dia bertanya-tanya, apakah dunia pendidikan di Indonesia se-Kapitalis itu.

Saya pun terhenyak dengan cerita teman lama ini, yang begitu perhatian dengan perkembangan dunia pendidikan. Dan tak terasa pembicaraan kami diakhiri kumandang adzan maghrib, dan selepas shalat, kami pun saling berpamitan dan saling mendoakan kebaikan diantara kami.

Sepulang dari pertemuan dengan teman lama pada sore itu, saya menjadi teringat dengan kisah duo revolusioner favorit saya yaitu Fidel Castro dan Che Guevara di Kuba. Mungkin sebagian dari kita mengenal mereka berdua sebagai Rebel atau pemberontak faham sosialis marxis anti Kapitalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun