Pemilu tahun 2014 ini penuh dengan dinamika perpolitikan yang seru, bagaimana tidak, pemilu kali ini begitu membangunkan semangat Masyarakat untuk turut berpartisipasi, dua figur calon Presiden tahun 2014 ini begitu menarik minat masyarakat untuk terlibat secara langsung mendukung dan memenangkan figur calon Presiden pilihannya, banyak masyarakat yang rela menjadi relawan masing-masing capres, namun dinamika perpolitikan ini tidak berjalan sampai pada hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pasangan calon nomor urut wahid menilai dalam pemilu tahun ini ada kecurangan yang tersusun secara terstruktur,sistematis dan masif, untuk saat ini tentu itu hanyalah subjektifitas dari pasangan yang kalah dalam rekapitulasi KPU, untuk menjadi suatu yang objektif maka dugaan tersebut tentunya akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), apakah betul telah terjadi kecurangan yang terstruktur sistematis dan masif.
ALANGKAH LUCUNYA CALON PRESIDEN KITA
Saat pemilu 9 Juli 2014 telah usai, banyak lembaga-lembaga survey hasil pemilu sibuk mencari data calon yang berpotensi besar memenangkan pemilu tahun ini, namun ada juga lembaga-lembaga survey yang memihak salah satu calon untuk menggiring opini kemenangan bagi calon pemilihannya, metode sederhananya tentu Quick Count tersebut mengambil sempel dari daerah yang diyakini memilih calon yang beraviliasi dengan lembaga-lembaga survey tersebut.
Ketika lembaga survey yang dari tahun ketahun teruji akurasi hasil data yang diperolehnya menyatakan bahwa potensi kemenangan ada pada Joko Widodo – Jusuf Kalla, team lawan sangat tidak terima, berbagai tudingan terhadap lembaga survey tersebut dilemparkan team lawan, bahkan relawan setia calon Presiden Prabowo Subianto menghujat lembaga-lembaga survey yang memenangkan pihak Jokowi-JK, mereka lebih meyakini hasil quick count milik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang beraviliasi/berkoalisi dengan Prabowo Subianto, namun yang mengagetkan ketika hasil rekapitulasi KPU membenarkan hasil quick count lembaga-lembaga survey yang memenangkan Jokowi-JK, perhatian tidak tertuju lagi pada lembaga survey, perhatian penuh curiga tertuju pada KPU, KPU dinilai melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif, tentunya kita tidak berharap tuduhan terhadap KPU itu dilontarkan juga pada MK jika MK justru menolak gugatan pihak pemohon.
Namun Menurut Analisis Saya, tudingan yang dilontarkan pada KPU akan juga diterima MK, jika kita fokus menyimak setiap pemberitaan tentang Pemilu, jelas akan ada penggiringan opini negatif pada MK yang menjadi the guardian of constitution, alasan yang klasik tentu akan keluar, bahwa MK belum tentu bersih, buktinya Ketua MK ada yang terjerat korupsi, apakah karena kasus Akhil Mukhtar hingga kita tidak akan percaya pada MK?
SUDAHLAH PAK PRABOWO…
Sangat lucu ketika Prabowo Subianto mengatakan gugatannya pada MK adalah proses mengajarkan Masyarakat berdemokrasi, namun berupaya mempersiapkan peluru membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pilpres di Parlemen, jika Prabowo betul-betul mengajarkan Masyarakat berdemokrasi tentunya Prabowo harus paham bahwa jantung dari demokrasi adalah Konstitusi, sedangkan dalam konstitusi menyatakan “Putusan MK bersifat final dan mengikat” artinya tidak ada upaya hukum lain diatas keputusan MK, atau dalam bahasa yang keren “Diatas keputusan MK hanya ada langit biru” sangat tampak tidak adil jika mengajar masyarakat untuk berdemokrasi namun disisi lain menyiapkan peluru yang membuat rusaknya tatanan demokrasi di Indonesia ini, jika masih ingat perkataan Profesor Sahetapy “De Kip Zonder Kop” atau bagai ayam tanpa kepala, maka kiranya perkataan itu akan pas pada siapa untuk momen ini.
Agak sedikit aneh juga ketika menggugat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) saat selesainya hasil rekapitulasi KPU, jika tidak terima tentang PKPU tersebut kenapa tidak pra pemilu dilayangkan gugatan hingga KPU dapat membentuk alternatif lain untuk mengakomodir jutaan suara Masyarakat yang tidak masuk pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan satu hal yang harus di pahami bahwa PKPU adalah peraturan kebijakan (Beleidregels) atau bahasa lainnya “Pseidowetgeving”.
Peraturan Kebijakan itu bentuk dari apa yang disebut sebagai Diskresi dalam Hukum Administrasi Negara (Freisermessen), jadi Peraturan Kebijakan berbeda dengan bentuk Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga karena Peraturan Kebijakan bukan bentuk Peraturan Perundang-undangan maka Peraturan Kebijakan (PKPU) tidak dapat dilakukan mekanisme kontrol norma hukum (Legal Norm Control Mechanism), baik oleh Mahkamah Konstitusi melalui Constitutional Review ataupun dari Mahkamah Agung melalui Judicial Review.
Peraturan Kebijakan bertujuan untuk menyempurnakan dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada Peraturan Perundang-undangan, hingga jelas bahwa Peraturan Kebijakan dalam hal PKPU tentang DPK dan DPKTb tidak dapat ditemui pada Undang-undang Pemilu, karena memang tujuannya sebagai penyempurna terhadap Peraturan Perundang-undangan tersebut.
Hemat Saya gugatan pihak pemohon pada MK ini mengambarkan ambisi untuk mencapai target memengkan Pemilu 2014 ini dan bukan sama sekali proses pembelajaran pada demokrasi, jika murni mengajarkan Masyarakat berdemokrasi maka tentunya tidak dengan cara-cara cereboh seperti ini.
Seorang Pemimpin jika benar-benar mengajarkan Masyarakat berdemokrasi tentunya harus juga mengajarkan Masyarakat akan arti tanggungjawab, tanggungjawab itu adalah ketika kita tidak mangkir dari panggilan Komnas HAM saat akan diminta keterangan seputar kasus HAM dan tidak kabur ke Jordania ketika hukum akan mengadili kita, itulah tanggungjawab berdemokrasi yang harus dicontohi pada Masyarakat.
Jika semua itu tidak dijalankan maka sudah tentu bahwa kita ini adalah duri dalam daging bagi tatanan demokrasi di Indonesia ini.
HARUSKAH KAMI MENGGALANG KOIN?
Mengingat dinamika pasca Pilpres tahun 2014 ini membuat Masyarakat semakin khawatir , masyarakat akan khawatir tentang bekal demokrasi yang bagaimana akan dititipkan pada anak cucu kita kelak, apakah contoh berdemokrasi seperti ini yang akan kita wariskan sebagai bekal telita bangsa ini?
Banyak sekali masyarakat dengan sinis menilai bahwa proses gugatan ke MK adalah ambisi untuk berkuasa dan halalkan segala cara untuk kemenangan, tentu gugatan itu sah-sah saja kalau melalui koridor hukum seperti saat ini, namun perlu dipahami bahwa walau mekanisme melalui koridor hukum, namun substansi yang dibawa melalui koridor hukum itu adalah substansi yang tidak sesuai dengan realita dan ketentuan-ketentuan hukum maka itu sama saja upaya mencederai tata hukum di Indonesia ini.
Sempat terpikir apakah kiranya penyebab begitu lamanya proses menerima kekalahan dalam pemilu, berbagai faktor teranalisis, apakah untuk kepentingan kekuasaan pribadi dan bagi-bagi kekuasaan bersama rekan koalisi, ataukah secara konyol karena finansial dan keuangan pasca pemilu, yang mungkin telah bocor karena biaya-biaya politik yang begitu mahal sehingga jika tidak menang pada bursa pemilihan Presiden akan rugi dari segi materi keuangan?
Tentu jika opsi pertama tadi maka jawabannya akan menunggu keputusan MK nantinya, apakah diterima gugatan itu, atau ditolak mentah-mentah, namun berbeda dengan opsi kedua, jika karena merasa kerugian karena biaya pemilu telah banyak yang terkuras maka kiranya rakyat dapat berpartisipasi menggalang dana kejalan untuk membantu menutup bocor,bocor dan bocor itu.
Namun tentunya tidak, opsi itu mungkin gambaran kejenuhan masyarakat Indonesia akan ambisi kekuasaan yang tanpa batas itu, Masyarakat ingin hidup dalam damai, tidak ingin terjadi perpecahan akibat perbedaan pilihan, jika proses ini terus berkepanjangan dan tidak ikhlas menerima kenyataan politik, maka tepatlah apa yang dikatakan Gusdur, bahwa “Orang yang paling iklas itu ya Prabowo”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H