Mohon tunggu...
Satria Zulfikar
Satria Zulfikar Mohon Tunggu... -

Saya seorang Aktivis di HMI dan Atif di LSM PUSPAWARNA (Penguatan Supremasi Warga Negara

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pansus Pilpres Mengebiri Kepastian Hukum

11 Agustus 2014   00:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:53 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana pembentukan Panitia Khusus Pemilihan Presiden (Pansus Pilpres) oleh Koalisi Merah Putih di Parlemen menuai Kontroversi pada Masyarakat, Pasalnya Pansus Pilpres dinilai sarat dengan muatan kepentingan politis semata, Masyarakat menilai wacana pembentukan Pansus Pilpres sangat tidak tepat mengingat gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) telah ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan Lembaga Negara tertinggi yang memiliki wewenang memutuskan hasil perselisihan Pemilu.

Pansus Pilpres Setelah Keputusan MK Salah Tempat

Kubu Pendukung Prabowo Subianto - Hatta Rajasa berstatment bahwa jika gugatan Mereka gagal di MK maka Mereka akan mencari keadilan ke Pansus Pilpres, ini suatu yang keliru, gugatan yang diajukan ke MK tentunya bersifat Final dan Mengikat artinya keputusan yang diketuk MK harus dilaksanakan dan tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan tersebut (incracht van gewijsde), jika masih ada putusan lain diatas Keputusan yang telah diketuk MK maka keputusan yang lain tersebut tentu inkonstitusional dan batal demi hukum.

Putusan MK terkait Sengketa Hasil Pemilihan Umum merupakan kewenangan MK yang sesuai dengan amanat Konstitusi, berbeda dengan Kewajiban MK, jika kewajiban MK tentunya putusan tersebut tidaklah final dan mengikat namun ada kewenangan Lembaga Negara lainnya yang berwenang untuk memutukan Persoalan tersebut yang kekuatan hukumnya mengikat layaknya kewenangan MK dalam memutuskan sengketa PHPU, misalkan dalam proses Pemberhentian Presiden (Impeachment) MK berkewajiban memutuskan dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden yang dilaporkan oleh DPR, setelah putusan MK tersebut membuktikan Presiden secara hukum bersalah maka seterusnya akan dilimpahkan pada MPR dan melalui rapat MPR maka Presiden dapat diberhentikan, dasar hukumnya sesuai Pasal 24C ayat 4 UUD 1945 yang mengatakan “MK wajib memberikan Putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden melakukan Pelanggaran Hukum”.Disanalah letak perbedaan Kewenangan dan Kewajiban MK, artinya jika Pansus Pilpres terbentuk maka tidak dapat memutuskan dugaan Pelanggaran Pemilihan Presiden.

Selain itu juga dalam Proses Persidangan di MK juga memiliki tenggangwaktu tertentu untuk memutuskan hasil perselisihan tersebut, MK harus memutuskan perselisihan hasil Pemilu paling lambat 14 hari masa kerja setelah Perkara diregistrasi, jika lewat waktu maka bisa saja putusan MK akan batal demi hukum, hingga MK harus seefisien mungkin untuk menghemat waktu, dalam sidang terkait Perselisihan Pemilu yang diajukan pihak pemohon yakni pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa MK mengambil kebijakan membatasi para saksi yang dihadirkan pihak pemohon.

Dilema Kepastian Hukum Indonesia

Gugatan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa terkait PHPU di MK dengan nomor registrasi 01/PHPU.PRES/XII/2014 yang menggugat keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/ 2014 merupakan upaya hukum terakhir dalam tatanan hukum Indonesia, jika setelah keputusan MK pihak Pemohon kalah dalam bersengketa dan melanjutkan ke Pansus Pilpres maka tentu ini bukan upaya pembelajaran Demorkasi untuk Rakyat, namun lebih kepada upaya mengebiri Kepastian Hukum Indonesia, Kepastian Hukum seharusnya tidak boleh dipolitisasi untuk kepentingan pribadi maupun golongan, justru kepastian hukumlah yang harus ditegakan walau langit runtuh, sama halnya dengan Grasi yang dikeluarkan oleh Presiden seperti yang tercantum dalam pasal 14 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 dalam memberikan Grasi harus dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, namun sangat disayangkan bahwa Grasi banyak untuk kepentingan Politik, seperti Contoh kasus Corby warga Negara Australia. Ia ditangkap membawa ganja seberat 4 Kg di Bandar udara Ngurah Rai, Bali, pada Oktober 2004. Karena perbuatannya itu, Pengadilan Negeri Denpasar mengganjar Corby 20 tahun penjara karena terbukti menyelundupkan ganja dari Australia.

Kasus Narkotika yang masuk pada Klasifikasi Pidana Khusus dan kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) seharusnya ada pembatasan terhadap Grasi yang dikeluarkan, dalam sejarah bangsa Indonesia baru pertama kali Presiden memberikan Grasi pada tindak pidana Narkotika. Kepastian Hukum tergadaikan demi kepentingan politik, bagaimana bisa Terdakwa yang dijatuhi sanksi pidana pada Pengadilan Negeri, ataupun saat Banding di Pengadilan Tinggi atau Kasasi ditingkat Mahkamah Agung dapat dibebaskan atas permohonan Grasi.

Dilema kepastian hukum Kita juga ada pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) . Perpu yang dikeluarkan Presiden dengan Syarat “Hal ikhwal kegentingan yang memaksa” juga sarat dengan kepentingan politik, tidak hanya secara subjektifitas Presiden semata, namun Perpu bisa melahirkan Pemimpin yang otoriter jika digunakan sebagai alat kekuasaan semata, pasalnya Perpu akan diajukan ke DPR dalam sidang DPR berikutnya, jika Presiden memiliki Quota Kursi atau Koalisi pada Parlemen yang kuat maka dengan mudah Perpu itu akan berubah menjadi Undang-undang.

Pembelajaran Demokrasi Untuk Rakyat

Pemilu Presiden 2014 ini penuh dengan dinamika politik yang mencengangkan, pada Pemilu kali ini Rakyat Indonesia semakin memaknai buah dari Demokrasi Indonesia, sebuah adigium mengatakan “Apalah arti Demokrasi jika tidak ada Partisipasi”, Masyarakat semakin larut dalam berpartisipasi dalam Pemilihan Umum, tidak hanya itu bahkan banyak Masyarakat yang setulus hati berpartisipasi untuk menjadi relawan masing-masing Pasangan Calon Presiden.

Perang Mediapun kerapkali menjadi tontonan publik, Media yang sebagai alat kontrol Masyarakat seharusnya dapat menggiring Pemilu kearah damai, namun banyak sekali media-media yang hanya semata menyiarkan pemberitaan untuk mengkampanye salah satu calon karena kepentingan Pemilik Media, ini sudah diluar dari kode etik jurnalis dan Undang-undang Pers, seharusnya media dapat lebih imbang dalam pemberitaannya.

Tidak hanya media, bahkan oknum-oknum tertentu sengaja melakukan kampanye-kampanye hitam lewat media ilegal untuk menjatuhkan Pasangan tertentu, ini menghambat kedewasaan Masyarakat berpolitik, seharusnya Aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang lebih serius untuk mencegah gaungan provokatif dari oknum-oknum Masyarakat tertentu agar Masyarakat Bangsa ini benar-benar memaknai Demokrasi sebagai alat mencapai Cita-cita Bangsa, siapapun Presidennya tentu untuk segenap Rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun