[caption caption="dok. pribadi"][/caption]
Ketika membaca artikel mas Bre Redana yang berjudul Inikah Senjakala Kami?, tergambar jelas detik-detik akan tenggelamnya media cetak seperti koran dalam sarana informasi masyarakat. Koran saat ini sedang diterpa badai teknologi dan internet yang ciptakan manusia serba praktis memperoleh informasi, hanya menekankan jari pada mouse maka kita sudah dapat mengakses informasi dengan cepat, berbeda dengan koran, yang butuh waktu sehari untuk diperoleh, itupun tidak dengan gratis.
Walaupun curhatan sedih Mas Bre sedikit diobati oleh artikel mas Pepih Nugraha berjudul Bukan Saatnya Senjakala Kami, namun tidak menutup kemungkinan terompet Armageddon (akhir zaman) akan akhiri sejarah panjang media cetak, sungguh sangat disayangkan, koran yang sejak zaman dulu menemani kita dari generasi ke generasi akan berakhir dengan terpaan badai teknologi yang menyajikan pemberitaan melalui media online yang serba instan.
Namun pada artikel ini saya tidak menyajikan senjakala yang akan menamati riwayat koran di masa ini, karena telah cukup tuntas mas Bre dan mas Pepih mengupasnya. Tema yang saya angkat pada tulisan ini adalah tentang nasib buku cetak, karena tidak hanya koran yang mengalami degradasi minat pembaca, namun juga sajian buku yang saat-saat ini telah tersaji secara instan. Akhir-akhir ini untuk membaca dan memperoleh buku, kita tidak perlu lagi susah-susah ke toko buku, sajian buku secara digital yang disebut E-Book menjadi ancaman nyata terhadap eksistensi buku cetak, kita dapat sesuka hati memilih dan membeli buku secara online pada situs-situs yang menyediakan E-Book. Amazon salah satu perusahaan jual-beli terbesar di dunia maya juga ikut membuat aplikasi katalog buku serupa yang diberi nama Shelfari, tidak perlu menunggu penyalur mendistribusikan buku pada masing-masing daerah, tinggal beli melalui E-Book dan langsung praktis dibaca.
Buku digital mengancam keberadaan toko-toko buku, ketika kita berbicara toko buku maka sangat jelas karyawan toko buku tersebut terancam di PHK, sama dengan analisis mas Bre yang mengkhawatirkan nasip jurnalis media cetak disela kemajuan teknologi berbasis informasi dan komunikasi. Secara tidak sadar justru dengan hadirnya buku digitalnya akan berpeluang menciptakan pengangguran baru di Indonesia, padahal masalah minat pembaca buku belum tuntas terselesaikan.
Ancaman lainnya juga menimpa perpustakaan di masing-masing daerah, walaupun perpustakaan menawarkan membaca secara cuma-cuma, namun dengan hadirnya E-Book merupakan teror baru bagi perpustakaan, padahal perpustakaan bukan semata tempat membaca, melainkan juga menjadi suatu simbol garda kemajuan intelektual masyarakat, sebagai tempat berdiskusi dan berbagi ilmu, kehadiran E-Book yang serba instan ini justru akan membuat perpustakaan rapuh dalam eksistensinya.
Teknologi berbasis informasi dan komunikasi dari waktu ke waktu mengalami kemajuan, namun sayang justru kemajuan tersebut tidak sejalan dengan pengentasan kemiskinan yang diusung negara, watak kapitalisme yang ingin keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya menjadi momok menakutkan bagi para karyawan toko buku, ketika masyarakat terlena dengan praktisnya mendapat buku, maka nasip karyawan toko buku terancam.
Saya tidak dapat membayangkan raut wajah Johannes Gutenberg sang penemu percetakan di alamnya sana, namun sangat disayangkan ketika kemajuan teknologi justru di satu sisi mengancam keberadaan yang lainnya, saya cuma menyarankan disinilah fungsinya peran pemerintah dalam memecahkan permasalahan ini, karena kontrak sosial terjadi antara masyarakat dengan pemerintah atas dasar kepercayaan masyarakat pada penguasa, jika menganggap hal ini adalah biasa-biasa saja maka akan menjadi bom waktu bagi Indonesia sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan ini maka pemerintah harus memiliki batasan terkait peredaran E-Book, membentuk suatu regulasi yang mengatur beredarnya buku digital pada masyarakat, sehingga nasip toko-toko buku, perpustakaan dan karyawan-karyawannya lebih terjamin, karena masih banyak masalah yang belum tuntas, disisi harga buku yang mahal, tingkat gairah membaca yang rendah dan permasalahan lainnya, maka sudah sewajarnya pemerintah telurkan suatu regulasi mengatasi persoalan ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI