[caption caption="Ilustrasi: internasional.kompas.com (shutterstock)"][/caption]Kasus suami memperkosa istri atau yang dikenal dengan Marital Rape terhitung sudah dua kali terjadi di Indonesia, pertama Mahkamah Agung pernah menjatuhkan pidana pada Hari Ade Purwanto (29) selama 15 bulan penjara karena memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur, sedangkan kasus kedua terjadi di daerah Denpasar Bali, dimana Tohari (57) yang berprofesi sebagai nelayan dijatuhkan hukuman 5 bulan penjara karena memperkosa istrinya Siti Fatimah.
Kasus suami perkosa istri ini terbilang cukup menarik, karena dalam ikatan perkawinan suatu hubungan badan antara suami dan istri adalah hal yang wajar, masyarakat akan menganggap itu tabu ketika dikategorikan pemerkosaan, karena sudah kewajiban istri melayani suaminya.
Namun perbuatan itu tidak dibenarkan dalam hukum positif (yang sedang berlaku) di Indonesia, mengingat dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan UU PKDRT khususnya dalam pasal 5 disebutkan:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
- kekerasan fisik;
- kekerasan psikis;
- kekerasan seksual; atau
- penelantaran rumah tangga.
Kemudian diperjelas lagi dalam pasal 8 yang menyatakan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf c meliputi:
- pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
- pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Untuk mengetahui siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga dapat kita baca dalam pasal 2 ayat (1), yang mengatakan lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi:
- suami, istri dan anak;
- orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
- orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Semua itu menjelaskan bahwa suami yang memaksa istrinya bersetubuh diluar kehendak istri maka dikategorikan sebagai pemerkosaan, memang agak sedikit aneh dan hal ini sangat tabu di masyarakat kita, namun cobalah kita berpikir logis sekejap, ketika seorang istri menolak untuk melakukan hubungan seksual dengan suaminya tentu memiliki hubungan sebab-akibat (kausalitas), seperti contoh dua kasus di atas, dimana terjadi di Denpasar, si istri menolak berhubungan seksual dengan alasan sedang sakit, namun alih-alih untuk dimaklumi justru sang suami nekat untuk memaksa istrinya melayani nafsu birahinya, akibatnya warga menemukan si istri dengan posisi terlentang lemas di lantai. Jika istri berkewajiban melayani suaminya tanpa mengenal alasan apapun, justru akan menjadi petaka bagi perempuan, dimana dalam keadaan sakit dipaksa untuk melakukan persetubuhan. Ketika UU tidak mengatur tentang hal ini, maka sangat berbahaya bagi perempuan dan bahkan akan mengancam nyawanya.
Kasus kedua terjadi di Pasuruan Jawa Timur, dimana si suami memaksa istrinya berhubungan di salah satu hutan, tentu si istri menolak, karena hutan adalah tempat terbuka dan tidak jarang masyarakat akan melalui hutan tersebut, dengan alasan demi menjaga kehormatan ketika ada yang melihatnya sedang bersetubuh tentu si istri akan menolak, harusnya ini menjadi kesadaran bersama semua masyarakat untuk melindungi perempuan dari ancaman kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, mengingat KDRT juga bukan delik aduan yang hanya akan diproses ketika ada pengaduan korban, namun ini menjadi delik biasa, siapa saja dapat melaporkan ketika menemukan ada kekerasan terhadap perempuan.
Kemudian terkait sanksi pidana kekerasan seksual dapat kita lihat dalam pasal 46, dimana dikatakan setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp. 36 juta.
Â
Kesulitan Menegakan UU PKDRT