Mohon tunggu...
Satria Zulfikar Rasyid
Satria Zulfikar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa juara bertahan di kampus! Bertahan gak wisuda-wisuda.. mau wisuda malah didepak!! pindah lagi ke kampus lain.. Saat ini bekerja di Pers Kampus. Jabatan Pemred Justibelen 2015-2016 Forjust FH-Unram Blog pribadi: https://satriazr.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Desakralisasi Mitos

26 Mei 2016   02:46 Diperbarui: 26 Mei 2016   03:08 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cahaya desa dalam cahaya kota (www.rumahku.com)

Ini hanya sebuah artikel sederhana untuk merefleksikan kembali metode mendidik pada generasi akan datang bangsa ini. Semua bangsa di dunia ini tentu menginginkan menjadi suatu peradaban yang maju, memegang imperium dunia. Bahkan Negara-negara di Asia, ingin menempatkan diri pada tinta emas peradaban di dunia.

Optimis itu juga tertuang dalam buku Kishore Mahbubani berjudul ‘Asia Hemisfer Baru Dunia’ yang pada intinya bahwa Asia bersiap menukar posisi utama dunia dari Negara-negara Barat. Juga terdapat dalam buku ‘Imperium III’ karya Eko Laksono, yang menekankan semangat Asia untuk bangkit menjadi pemenang sejarah baru. Kebangkitan Asia dikhususkan pada Negeri Matahari Terbit (Jepang).

Namun sebelum kita bereuforia dengan mimpi-mimpi liar yang akan terealisasikan itu, sedikitnya kita harus kembali menengok paradigma masyarakat kita saat ini, khususnya untuk mempersiapkan Konfusius masa depan Indonesia.

Penekanan kerangka berpikir untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia, dimulai dari menyesuaikan transfer keilmuan pada anak sesuai dengan dinamika zaman. Ini adalah hal yang dilupakan orang tua, di mana masih menganggap metode pendidikan pada anak sama dengan metode pendidikan mereka oleh orang tua dulu. Hal ini sangat jauh berbeda. Antara generasi yang satu dan lainnya memiliki dinamika kultur. Anak zaman sekarang bukan anak zaman ayah dan ibunya dulu, kultur dulu dan sekarang berbeda.

Perbedaan kultur saat ini menuju modernitas terlihat di mana perkembangan arus globalisasi maju dengan pesatnya. Kemajuan tersebut diikuti dengan jejak-jejak internet dan audio visual. Di saat itu juga pola pikir ‘anak zaman’ mengalami disparitas (perbedaan) dengan generasi dulu.

Dari hasil diskusi penulis dengan Budayawan NTB, Adam Gottar Parra. Ia membedakan bahwa generasi dulu adalah generasi pendengar (disebut generasi audio), sedangkan generasi saat ini adalah generasi melihat (generasi visual). Perbedaannya, pada generasi pendengar, maka setiap perkataan orang tua selalu diamini sepenuhnya, tanpa ada proses berpikir kritis. Fatalnya mitos-mitos liar ikut pula diamini, misalnya: jangan keluar rumah pada waktu magrib, jangan duduk depan pintu, dll. Hal itu dengan cepat diamini, karena generasi pendengar tidak memiliki senjata untuk menyelidiki kebenaran mitos-mitos liar tersebut.

Berbeda dengan generasi sekarang, yaitu generasi melihat (visual). Kemajuan arus globalisasi yang membawa internet, dapat menjadi senjata pelacak mitos-mitos liar tersebut. Misalnya mitos di mana ular dapat diusir dengan garam. Kini kemajuan Iptek yang dikampanyekan melalui teknologi membuktikan hal itu tidak benar.

Untuk itu tentu transfer pendidikan kepada anak harus diikuti perkembangan zamannya. Karena fatal ketika anak membuktikan klaim keliru orang tua, hal itu menyebabkan distorsi etos pada anak menjadi anak yang melawan. Metode yang rasional harus menjadi paramerer dalam memberikan stimulus pengetahuan. Karena saat ini kita tidak berada pada Gedung Conefo, melainkan Gedung DPR modern, walaupun hakikatnya adalah objek yang sama dengan nama dan fungsi yang berbeda.

Perdebatan panjang pemuda dengan konsep berpikir visual dan audio yaitu tentang ‘cinta sejati’. Banyak klaim antara ada dan tidak adanya tema perdebatan tersebut. Perdebatan panjang itu akhirnya dapat dimenangkan oleh generasi visual. Karena dalam kacamata realitas, cinta sejati itu tidak ada. Karena cinta bukan ilmu pasti (eksak) seperti matematika, di mana 1+1=2 sampai kiamat pun demikian hasilnya. Tapi cinta adalah sesuatu yang nisbi (relatif). Mana mungkin dapat memaknai sejati pada cinta, jika devinisi ‘sejati’ saja adalah kekal atau tidak mendua, sedangkan objek rasa sayang (cinta) itu beragam, tidak hanya pada satu objek melainkan banyak (keluarga, pacar, teman, dll).

Sudah saatnya melakukan desakralisasi terhadap mitos-mitos yang tidak sesuai realita zaman. Hal ini berfungsi agar pola pikir kita tidak stagnasi (jalan di tempat), sehingga akan mudah menggapai cita-cita besar bangsa ini. Karena di era Westernisasi ini, tantangan untuk kita yaitu mampu mempelajari dinamika global, namun tidak serta merta menanggalkan pakaian khas kita (budaya). Karena dengan menjaga budaya atau kearifan lokal, dapat menjadi filter bagi pengaruh buruk di luar, sehingga dapat memasukan hal-hal yang positif bagi kolektif masyarakat saat ini.

Contohnya Jepang, yang sempat disinggung pada paragraf awal. Di mana dapat menguasai ilmu barat, namun tidak pernah sama sekali meninggalkan jejak budaya lokal mereka. Sehingga sering sekali kita jumpai adigium mengatakan: “Apel Amerika yang ditanam di tanah Jepang, rasanya tetap saja rasa Jepang” Karena kekuatan Jepang dalam memfilterisasi budaya luar, dengan tetap menerima iklim perubahan global sebagai kearifan kosmopolitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun