TELAH lewat dari satu lustrum lamanya bergelut dengan pena dan buku. Bahkan hampir satu liter tinta jika diukur dari pena yang terbeli. Namun entah mengapa, almamater ini sulit terlepas, bahkan menempel dan terus terekat pada kulit.
Di era persaingan global ini, relatifnya mahasiswa ingin segera melepas almamater dan ikut dalam kerumunan kompetisi dunia moderen. Senjata terpentingnya ada pada selembar kertas ijazah. Bahkan tidak jarang, parameter pengetahuan diukur dari ijazah.
Aku merupakan salah satu dari ribuan kepala yang ingin segera melepas almamater yang merekati tubuh. Namun berbeda dengan yang lainnya. Jika yang lain fokus untuk segera melepas almamater untuk menghadapi dunia kerja, justru aku hanyalah ingin melepas almamater akibat tuntutan ibu-ibu arisan.
Tentunya itu semua karena tidak tahan teguran ibuku, yang selalu risih ditanya kapan anaknya wisuda oleh ibu-ibu sosialita. Entah mengapa, pertanyaan kapan wisuda sama risihnya dengan pertanyaan kapan kawin. Padahal keduanya bukan segampang isi ulang pulsa.
Kembali ke almamater. Almamater merupakan bahasa latin yang berdasarkan arti leksikalnya adalah “ibu susuan”, konon bahasa tersebut digunakan, karena pada zaman Yunani, ibu-ibu yang sibuk kerja memilih untuk mengasuhkan anaknya pada perempuan-perempuan yang akan membimbing si anak dan mentranformasikan ilmu pengetahuan sesuai perkembangan si anak. Romawi Kuno mendevinisikan almamater sebagai “dewi ibu”, pada abad pertengahan, Kristen Eropa mendevinisikan almamater sebagai “Perawan Maria”.
Pada perkembangan selanjutnya, almamater didevinisikan sebagai perguruan tinggi, bahkan hingga kini merupakan jas kebesaran mahasiswa. Namun untuk melepaskannya rada-rada sulit, mahasiswa harus menyelesaikan 6 semester perkuliahan ditambah KKN dan skripsi. Godaan sepanjang waktu cukup besar, bahkan puncaknya ada pada jurang drop out.
Polemik klasik yang menyebabkan almamater sulit terlepaskan, dalam pantauan saya cuma 2 hal. Pertama, karena si pengguna (baca: mahasiswa) aktif dalam organisasi kampus. Kedua, karena memang budaya malas kuliah. Faktor tambahannya yang tidak masuk hitungan, mungkin juga karena mahasiswa sambilan bekerja.
Aktif pada organisasi kampus memang tidak jarang menyebabkan kuliah terbengkalai. Memang benar, banyak aktivis organisasi yang berupaya menyelamatkan proses kaderisasi anggota baru dengan jargon “organisasi bukan penghambat kuliah,” namun realitanya berbeda. Mahasiswa yang terlalu aktif, sulit untuk meletakan porsi seimbang antara kuliah dan aktif organisasi. Namun perlu diketahui, organisasi memiliki andil keilmuan yang besar untuk sebuah kesuksesan mahasiswa. Indeks yang ditawarkan organisasi tidak hanya indeks kesuksesan, tetapi juga kebahagiaan. Coba saja buktikan dengan riset kecil-kecilan, berapa banyak tokoh terkenal di Indonesia yang lahir dari rahim organisasi.
Kepedulian pemerintah terhadap organisasi kemahasiswaan tidak saja hanya pada penggelontoran dana bantuan, tetapi juga dalam penjelasan pasal 35 ayat (4) UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dijelaskan: “kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai penunjang kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua satuan kredit semester.” Jadi jelas bahwa organisasi diberikan bobot SKS, hanya saja jarang sekali kampus mewujudkan amanat UU tersebut.
Ibu-ibu arisan seharusnya menyadari hubungan kausalitas, mengapa mahasiswa lambat untuk wisuda. Karena sekali lagi, tanpa organisasi, syarat teknis dunia kerja sulit untuk tercapai. Mana mau kampus mengajarkan mahasiswa membuat surat, proposal, dan teknis dunia kerja lainnya. Itu semua didapatkan pada bangku organisasi. Hingga sangat pantas organisasi dijuluki kampus kedua mahasiswa organisatoris. Untuk itu, mohon bersabar bagi ibu-ibu yang sedang menanti anaknya melepas almamater. Ini semua untuk sebuah kebahagiaan ke depannya.