[caption caption="Ilustrasi Foto: TEMPO/Hariandi Hafid (m.tempo.co)"][/caption]
Setiap tahun ajaran baru, berbondong-bondong calon mahasiswa mendaftarkan diri di kampus ternama. Karena tentunya, kampus atau Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama, diyakini mampu untuk menelurkan alumni yang cerdas, siap berkompetisi dan unggul pada bidang-bidang tertentu. Jelas, karena kampus ternama memiliki kwalitas tenaga pengajar dan kwalitas kampus cukup baik, sering mendapat akreditasi A maupun menelurkan orang-orang berpengaruh di negeri ini. Sehingga itu yang menjadi daya tawar calon mahasiswa untuk masuk pada PTN tersebut.
Namun tidak mudah untuk masuk kampus ternama, karena harus melalui tahapan seleksi. Biasanya berbentuk ujian tertulis. Calon mahasiswa yang mampu menjawab soal ujian tentunya akan lulus dan dapat diterima pada kampus tersebut, sebaliknya dengan calon mahasiswa yang tidak lulus maka terpaksa ditolak masuk pada kampus tersebut.
Calon mahasiswa yang tidak lulus terpaksa harus mencari kampus lain yang dapat menerima mereka, namun sungguh sayang, kwalitas kampusnya tentu berbeda dari harapan mereka, karena mereka akan diterima di kampus yang tidak ternama, atau dari segi kwalitas terbilang masih rendah.
Ini justru menandakan suatu logika terbalik dari PTN ternama itu sendiri. PTN hanya mau menerima calon mahasiswa yang pintar, tentunya diukur dari keberhasilan menjawab soal ujian sebagai syarat dapat masuk kampus. Dan jelas bahwa mahasiswa yang kurang pintar, tidak dapat diterima di kampus ternama. Sangat aneh ketika calon mahasiswa yang kurang pintar justru tidak diterima di kampus pintar (ternama). Seharusnya justru calon mahasiswa yang kurang pintar harus diterima di kampus ternama, sehingga mereka dapat menjadi pintar.
Jika sistem seperti saat ini terus menerus berjalan, artinya PTN ternama tidak memiliki usaha untuk menuntaskan kebodohan, karena kebodohan adalah suatu problema bangsa saat ini. Justru PTN ternama bersikap praktis, dengan hanya menerima calon-calon mahasiswa pintar saja, sedangkan nasip calon mahasiswa kurang pintar hanya berakhir pada kampus yang kwalitasnya belum maksimal, bahkan hampir setara dengan lembaga kursus kelas teri.
Diketahui bahwa PTN ternama sering melahirkan alumnus-alumnus yang berpengaruh di negeri ini, dan menjadi suatu parfum yang mengharumkan PTN itu sendiri. Namun apakah itu murni karena PTN ternama itu memang berkwalitas sehingga menelurkan alumni yang berkwalitas?, jawabannya belum tentu, mungkin saja itu memang murni karena mahasiswanya cerdas dan pintar sejak awal, mengingat sistem penerimaan mahasiswa seperti di atas tadi.
Sangat aneh ketika calon mahasiswa kurang pintar dimasukan pada kampus yang kurang berkwalitas. Perlu dipertanyakan keseriusan pemerintah mengentaskan kebodohan, justru idealnya calon mahasiswa yang kurang pintar dimasukan/diterima pada kampus yang berkwalitas sehingga mereka akan berkwalitas juga. Ini baru upaya yang nyata dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H