[caption caption="Ilustrasi: m.inilah.com"][/caption]
Menyaksikan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) saat ini sangat membuat saya prihatin, keprihatinan saya bukan hanya tertuju pada maraknya fenomena LGBT yang melanda Indonesia dengan budaya ketimuran yang kontradiksi dengan itu, namun juga keprihatinan pada masyarakat yang begitu responsif dengan kabar terkait LGBT dan berteriak menghardik atas nama moral.
Saya percaya bahwa Tuhan maha pemurah, maha penyayang dan maha pemaaf, ketika saya dilahirkan sebagai orang miskin apakah adil jika saya menyalahkan pencipta saya?, tentu saya harus menjalani kodrat, walaupun tidak jarang hardikan orang lain pada saya yang melihat melalui kacamata starata sosial, negara belum mampu untuk memunuhi kehidupan saya terlepas dari belenggu kemiskinan, walaupun secara amanah konstitusi itu adalah tanggungjawab negara, apakah adil ketika negara mengatakan pelarangan terhadap orang miskin?.
Berbicara tentang kemiskinan diatas tidak bedanya dengan polemik LGBT saat ini, seandainya para penderita LGBT diberi hak memilih untuk tidak menjadi LGBT, saya yakin meraka semua akan memilih tidak. Saudaraku, tidak ada yang akan mau bernasip menjadi LGBT, tidak akan ada masyarakat yang mau dikucilkan dari kehidupan di masyarakat, itu bukan pilihan mereka, sama sekali mereka tidak menginginkan untuk menjadi seperti itu.
Pelarangan LGBT masuk kampus adalah suatu diskriminasi dalam dunia pendidikan, LGBT adalah orang yang memiliki kelainan, sama halnya dengan penderita disabilitas, mereka adalah manusia selayaknya kita semua, hanya karena kodrat mereka yang memberi garis takdir seperti itu sehingga mau tidak mau harus mereka jalani, saudaraku, tidak bahagia menjadi seseorang LGBT, seandainya saudara bisa merasakan menjadi mereka walau hanya satu hari, maka saya yakin penyesalanmu menghardik akan muncul.
LGBT bukan butuh dikucilkan, mereka butuh direhabilitasikan, betapa besar keinginan mereka untuk sembuh, untuk kembali hidup normal, jika saudara membaca link artikel berita ini (Pesanteren Waria Yogyakarta Satu-satunya di Dunia) saudara seharusnya memiliki kesimpulan bahwa betapa besarnya keinginan mereka untuk kembali normal, namun alih-alih kita luangkan waktu untuk berpikir bijak, berita ini kita jadikan bahan lelucon kita, melakukan share karena berita tersebut terbilang lucu dan unik, tapi sayang mereka disana justru berkorban untuk dapat hidup normal, berkorban agar tidak dikucilkan oleh pergaulan sosial di masyarakat, apapun tantangannya akan mereka lakukan yang penting dapat sembuh.
Saudaraku, apakah benar dan salah perbuatan manusia hanya dapat diukur dari premis-premis moral? lalu kemudian dilakukan konvensi kesepakatan dan membuang yang tidak sejalan dengan konvensi tersebut. Saya tidak akan menghakimi warna biru dengan alasan saya mencintai warna merah, setega apa kita seorang manusia yang kecil ini dapat menyalahi takdir kuasa Ilahi.
Fenomena LGBT ini seharusnya kita jadikan bahan renungan kita bersama, hilang kemana budaya luhur ketimuran yang berbasis kekeluargaan itu, mungkin fenomena LGBT ini hanyalah percikan oleh kaum penderita LGBT sendiri agar negara secepatnya turun tangan memperhatikan mereka, agar negara membuat tempat rehabilitasi untuk menyembuhkan mereka, karena penderitaan mereka begitu panjang.
Semoga coretan ini mampu menggugah perasaan kita untuk memikirkan saudara kita, karena benar dan salah terkadang tidak harus ditentukan dari premis moral, seandainya mereka bisa memilih untuk tidak menjadi LGBT, maka sudah tentu disanalah berlabuh pilihan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H