Mohon tunggu...
Sartono Sajendro
Sartono Sajendro Mohon Tunggu... penikmat bahasa, sastra, budaya -

Coretan (tangan) dari (kaki) gunung\r\n-- satoras.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dari Sebilah Keris dan Tersingkapnya Betis. MAKAR

13 Oktober 2010   14:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

DI SEBUAH NASKAH TEATER. Terkisah, seorang mantan berandal terpesona oleh cahaya yang memancar dari betis yang tersingkap ketika secarik kain diterpa angin. Betis bercahaya itu milik seorang perempuan mulia di kedaton Tumapel, wilayah bawahan kerajaan Kediri. Perlambang yang diyakini, dari rahim perempuan inilah akan lahir penguasa-penguasa di tanah Jawa. Oleh sebab itu, apapun caranya, memakai teknik bagaimanapun, perempuan itu harus didapatkan. Jika ia telah diperistri orang, harus direbut paksa….

“Kok mendadak begini, sih?” gerutu Ayu, ketika sang sutradara yang juga suaminya itu menyodorkan naskah kepadanya.

“Nggak apa-apa, kamu kan sudah berulangkali memainkan lakon Ken Dedes, nggak jauh beda kok” timpal sang sutradara sambil terus mengedarkan naskah ke beberapa pemain lain.

“Tapi waktu empat hari mana cukup untuk menghafal dan latihan?lagipula beberapa pemain sedang ada acara di luar kota” kata Ayu

“Makanya naskah ini dibuat lebih sederhana. Sudah disesuaikan dengan jumlah pemain yang tersisa. Konsepnya nanti minimalis saja”

Sang sutradara kemudian mulai memberikan arahan kepada para pemain serta kru yang lain. Ia pun turut ambil bagian dalam pementasan itu, sebagai Tunggul Ametung, suami Ken Dedes.

“OK, satu hari untuk menghafal, dua hari untuk latihan. Awas, jangan sampai telat saat latihan!” kata sutradara menutup pertemuan sore itu.

**

DI SEBUAH LATIHAN TEATER. Sutradara tersenyum puas. Para kru yang dilatihnya begitu profesional. Dalam waktu hanya sehari, ternyata mereka mampu menghafal naskah yang diberikannya. Bahkan si Aris, mahasiswa gondrong itu, seakan kemasukan ruh Ken Arok. Gaya dan teriakan lantangnya menunjukkan totalitasnya, meskipun baru sekali ini ia didaulat menjadi pemeran utama. Biasanya, peran utama selalu jatuh ke tangan Tedjo yang saat ini sedang keluar kota.

“Bagus, sepertinya rambut gondrongmu cocok dengan peran-peran berandal begitu, Ris, hahaha ” puji sang sutradara sambil terkekeh melihat Aris yang kesulitan melepas rambutnya yang awut-awutan terjepit di mahkota yang dikenakannya.

***

DI BELAKANG PANGGUNG TEATER. Seusai latihan, para kru mengemas barang bawaan. Hanya Aris dan Ayu yang masih asyik berlatih di pojok ruangan, sambil sesekali melirik ke arah sutradara. Kemudian tersenyum berdua.

“Aris !!,” teriak sang sutradara, meminta Aris mendekat. ”Besok kamu pakai keris ini saja. Koleksiku pribadi. Keris yang kamu pakai tadi kurang bagus, terlalu kelihatan imitasinya,” kata sang sutradara, sambil menyerahkan sebilah keris pada anak buahnya yang gondrong itu.

DI SEBUAH PERHELATAN TEATER. Hari H pertunjukan, penonton sudah duduk rapi di deretan kursi di aula gedung kesenian kota itu. Tata panggung dan musik benar-benar sesuai konsep. Tidak adanya gebyar warna warni lampu justru membuat perhatian penonton terfokus pada karakter yang ditampilkan para pemainnya.

Aris gondrong benar-benar seperti kerasukan ruh Ken Arok. Diraihnya Ken Dedes ke dalam pelukannya, dan ungkapan cinta pun meluncur deras dari mulutnya. Puji-pujian kepada wanita yang sangat didambanya itu pun lancar diutarakan. Kerinduan yang selama ini ia tahan, ditumpahkan semuanya. Di panggung itu, keduanya berpelukan erat, lama sekali, sambil terus mengumbar kata cinta.

Hey, tiba-tiba sang sutradara merasa ada yang aneh. Kata-kata Arok Dedes seperti itu tidak ada dalam naskah yang ia berikan kepada keduanya. Beberapa saat sutradara menyimak, dan semakin yakin bahwa mereka berdua melenceng jauh dari naskah. Apa yang diucapkan Aris dan Ayu tak lagi sesuai arahannya. Sang sutradara semakin bengong melihat keduanya makin erat berpelukan, sesekali berciuman. Kelakuan mereka sungguh di luar perkiraannya. Tatapan mata Aris dan Ayu jelas menunjukkan orang yang sedang dilanda asmara.

Cemburu. Sang sutradara pun tak tinggal diam, persetan dengan skenario.

Masih mengenakan pakaian Tunggul Ametung, ia menghambur ke panggung. Membentak keduanya dengan suara lantang. Namun, sekeras suaranya menggelegar, sekeras itu pula jerit kesakitan dari mulutnya. Aris menikam perut dan punggungnya, cepat sekali, menggunakan keris koleksi pribadi sang sutradara. Berulang kali. Hingga darah mengucur tanpa henti.

Dan jerit kepanikan terdengar di mana-mana. Penonton pun berhamburan mendekat ke panggung. Petugas keamanan segera meringkus Aris, sementara tubuh sutradara yang bersimbah darah dibawa ke atas dipan, menunggu ambulans datang.

Di sela isak tangisnya, Ayu menutup muka. “Akhirnya bisa juga kuperdaya mahasiswa gondrong itu untuk menghabisi suamiku. Rasakan ajalmu sekarang sutradara tua bangka !!!” batinnya puas.

Sempat dilihatnya di sela kerumunan orang, sosok yang beberapa hari ini tak dirasakan kehangatannya, Tedjo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun